**PRADANAMEDIA/ JAKARTA — Perputaran uang dari aktivitas judi online (judol) di Indonesia masih berada pada angka yang mengkhawatirkan. Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana, mengungkapkan bahwa sepanjang kuartal I tahun 2025, total perputaran dana dari praktik ilegal ini mencapai Rp 47 triliun.
Pernyataan ini disampaikan Ivan dalam forum “Program Mentoring Berbasis Risiko TPPU dan TPPT dari Tindak Pidana Siber 2025” yang digelar di Gedung PPATK, Jakarta, pada Kamis (8/5).
“Kalau kita lihat transaksi yang terjadi pada kuartal pertama 2025, total perputaran dana judi online mencapai Rp 47 triliun. Ini angka perputaran transaksi, bukan nilai bersih uangnya,” ujar Ivan.

Meski angka tersebut masih tinggi, Ivan mencatat adanya penurunan yang cukup signifikan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. “Jika dibandingkan kuartal I-2024, terjadi penurunan sebesar 38 persen dalam perputaran dana, dan jumlah transaksinya turun 36 persen,” jelasnya.
Namun, tren tahunan menunjukkan lonjakan besar dalam beberapa tahun terakhir. Data historis PPATK menunjukkan bahwa pada 2017 perputaran uang judi online baru mencapai Rp 2 triliun. Angka ini meningkat drastis menjadi Rp 57,9 triliun pada 2021, lalu melonjak ke Rp 327 triliun pada 2023, dan kembali naik menjadi Rp 359,8 triliun sepanjang 2024.
Menyikapi tren ini, PPATK menargetkan penurunan perputaran dana secara signifikan pada akhir tahun 2025. Ivan menyebut, jika upaya penindakan dan pencegahan terus dilakukan secara konsisten oleh aparat, termasuk Kominfo dan Kepolisian, maka total perputaran dana dapat ditekan hingga Rp 223,45 triliun—atau turun 37,9 persen dari total perputaran tahun lalu.
“Kalau intervensi yang saat ini dijalankan tetap berlanjut secara efektif, kita perkirakan bisa menekan transaksi judol sampai 37,9 persen. Angkanya bisa turun ke kisaran Rp 223 triliun di akhir tahun,” tegas Ivan.
Fenomena ini kembali menegaskan urgensi penanganan tegas terhadap praktik judi online yang bukan hanya merugikan masyarakat secara finansial, tetapi juga berpotensi menciptakan lingkaran kejahatan yang lebih luas, termasuk pencucian uang dan tindak pidana siber. (RH)
