**PRADANAMEDIA/ JAKARTA — Ketua Badan Pekerja Centra Initiative dan pengamat militer, Al Araf, mengkritik keras kebijakan rekrutmen besar-besaran calon Tamtama oleh TNI Angkatan Darat (AD) untuk membentuk Batalyon Teritorial Pembangunan. Menurutnya, langkah ini menyimpang dari mandat utama TNI sebagai alat pertahanan negara.
Batalyon Teritorial yang akan dibentuk rencananya mencakup empat kompi non-tempur, yakni kompi pertanian, peternakan, medis, dan zeni. Al Araf menilai, pembentukan kompi-kompi tersebut justru mengaburkan fungsi pokok TNI sebagaimana diatur dalam konstitusi dan Undang-Undang TNI.

“Langkah ini keluar dari garis tugas utama militer sebagai kekuatan perang. TNI direkrut dan dilatih untuk menghadapi ancaman militer, bukan untuk mengurusi pertanian, perkebunan, atau peternakan,” ujar Al Araf saat dihubungi awak media, Minggu (8/6).
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pelibatan TNI dalam sektor-sektor non-pertahanan berisiko menurunkan profesionalisme militer dan dapat melemahkan kedaulatan negara. Ketika prajurit lebih disibukkan dengan urusan sipil, kekuatan tempur bangsa justru bisa tergerus.
“Jika fokus TNI beralih ke urusan di luar pertahanan, maka ada potensi gangguan terhadap ketahanan nasional karena mereka tidak lagi maksimal menjalankan fungsi dasarnya,” tambahnya.
Al Araf pun mendesak Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI untuk mengevaluasi dan mengawasi proses rekrutmen tersebut agar tidak menyimpang lebih jauh dari jati diri TNI.
“Penggunaan TNI di luar tugas pertahanan harus dibatasi dan dikaji dengan serius. Jangan sampai TNI berubah menjadi institusi serba bisa yang kehilangan identitas militernya,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Wahyu Yudhayana, menjelaskan bahwa rekrutmen 24.000 calon Tamtama ini merupakan bagian dari rencana pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan. Program ini bertujuan mendukung pembangunan di 514 kabupaten/kota, termasuk dalam bidang ketahanan pangan dan pelayanan kesehatan.
“Batalyon ini akan tersebar di seluruh Indonesia, berdiri di lahan seluas 30 hektare per satuan, dan terdiri dari kompi-kompi yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat secara langsung,” ujar Wahyu kepada Awak Media, Selasa (3/6).
Namun, meski disebutkan bahwa para prajurit tidak akan difungsikan untuk tempur, wacana ini tetap memicu perdebatan mengenai perluasan fungsi militer ke sektor-sektor sipil yang semestinya menjadi domain kementerian teknis atau lembaga sipil lainnya.
Bahwa keterlibatan TNI dalam urusan non-pertahanan semestinya bersifat terbatas, berbasis perbantuan, dan tetap berada di bawah pengawasan sipil yang ketat. Penggunaan kekuatan militer untuk tujuan sipil yang terlalu luas berpotensi membuka ruang penyimpangan, melemahkan supremasi sipil, dan mereduksi makna profesionalisme angkatan bersenjata. (RH)
