Plasma Sawit 20 Persen Masih Jadi Asa Panjang Masyarakat Kalteng

HUKAM LOKAL

PRADANAMEDIA / PALANGKA RAYA – Masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng) yang hidup di sekitar perkebunan kelapa sawit kian terhimpit. Lahan untuk bertani semakin sempit, bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Dalam kondisi ini, tuntutan masyarakat terhadap kewajiban perusahaan sawit menyediakan plasma 20 persen menjadi harapan terakhir. Namun, realisasi kebijakan tersebut masih jauh dari kenyataan, meski warga telah berulang kali menuntut, bahkan harus menghadapi risiko nyawa hingga kriminalisasi.

Persoalan itu kembali mencuat dalam Lokakarya Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, yang digelar di Hotel Neo Palangka Raya, Jumat (26/9). Lokakarya mengangkat tema “Implementasi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit bagi Masyarakat dan Peningkatan Tata Kelola Koperasi di Kalimantan Tengah”.

Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TuK Indonesia, Abdul Haris, menegaskan bahwa masih banyak perusahaan di Kalteng yang belum menjalankan kewajiban plasma. “Padahal, plasma 20 persen merupakan hak masyarakat dan kewajiban perusahaan. Namun, kenyataannya, plasma masih jauh dari harapan dan justru memicu konflik sosial,” ujarnya.

Suara dari Akar Rumput

Pengalaman pahit itu dirasakan Mariani (38), warga Desa Bangkal, Seruyan. Ia mengaku, sejak perusahaan sawit masuk ke desanya awal 2000-an, manfaat yang dijanjikan tak pernah benar-benar dirasakan. “Bahkan, perjuangan menuntut plasma pernah memakan korban. Saudara kami, Gijik, tewas tertembak saat demonstrasi Oktober 2023 lalu,” ungkapnya pilu.

Hal senada disampaikan Kilung (42), warga Desa Tanah Putih, Kotawaringin Timur. Menurutnya, plasma sawit masih sebatas janji manis. “Sejak 2005 perusahaan datang dan menjanjikan plasma 20 persen, sampai sekarang sudah 20 tahun, belum juga terealisasi,” tegasnya.

Konflik Berkepanjangan

Tidak hanya di Seruyan dan Kotawaringin Timur, persoalan serupa juga terjadi di banyak desa lain di Kalteng. Tak jarang, tuntutan warga berujung bentrok dengan aparat keamanan. Bahkan, Kepala Desa Biru Maju, Juliandi, pernah dilaporkan ke polisi oleh perusahaan karena mengajak warganya berunjuk rasa menuntut hak plasma.

“Perusahaan sudah menandatangani nota kesepakatan terkait plasma 20 persen. Karena tak kunjung dilaksanakan, kami menuntut perusahaan ditutup saat itu,” ujar Juliandi.

Harapan yang Belum Padam

Bagi masyarakat, plasma bukan sekadar janji, tetapi bagian dari ruang hidup yang semakin menyempit. Tanpa plasma, sulit membayangkan bagaimana mereka bisa bertahan di tengah dominasi perkebunan sawit yang meluas.

Kendati perjuangan panjang telah menelan korban, masyarakat Kalteng tetap berharap pemerintah tegas memastikan kewajiban perusahaan dijalankan, sehingga keadilan dan kesejahteraan benar-benar dapat dirasakan. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *