Pradanamedia / Palangka Raya, 19 September 2025 — Pemerintah Kota Palangka Raya menggelar audiensi terbuka untuk menanggapi konflik batas wilayah antarai Kelompok Tani Lewu Taheta dan Kelompok Tani Jadi Makmur yang terjadi di Kelurahan Kalampangan dan Kelurahan Sabaru, Kecamatan Sebangau.
Pertemuan yang berlangsung di Ruang Rapat Peteng Karuhei I, Lantai II Kantor Wali Kota ini dimulai pada pukul 16.25 WIB dan dihadiri langsung oleh Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palangka Raya, Ketua DPRD Kota, serta sejumlah pejabat lintas instansi. Hadir pula perwakilan dari pihak kepolisian, kelompok tani, serta lurah dari wilayah terdampak.
Wali Kota: Pemerintah Hadir Sebagai Penengah
Dalam sambutannya, Wali Kota Palangka Raya menegaskan bahwa pemerintah kota berkomitmen menjadi mediator yang netral dan responsif terhadap persoalan masyarakat. Ia juga menyampaikan bahwa forum tatap muka dipilih untuk mempercepat komunikasi, tanpa harus melalui proses surat-menyurat yang berlarut.
“Kami ingin mendengar langsung aspirasi masyarakat dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tetap mengedepankan prinsip keadilan dan kemaslahatan bersama,” ujar Wali Kota.
Wakil Wali Kota yang membuka forum juga menambahkan bahwa dialog ini diharapkan menjadi ruang diskusi yang produktif dan sarana untuk memperjelas akar persoalan agar solusi yang dicapai bersifat menyeluruh.
Konflik Muncul Akibat Ketidakjelasan Batas Wilayah
Ketua Kalteng Watch, Men Gempul, yang mendampingi Kelompok Tani Lewu Taheta menjelaskan bahwa persoalan bermula dari ketidakjelasan batas administrasi antarwilayah. Ia menyebutkan bahwa konflik ini telah berlangsung selama lima tahun terakhir dan memicu ketegangan sosial di tengah warga.
Menurutnya, terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga lurah tahun 2017 yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat justru memperkeruh keadaan. Men Gempul mendesak agar pemerintah segera menginisiasi kesepakatan lintas pihak dan mengesahkannya dalam bentuk peraturan resmi.
“Masalah ini tak bisa dibiarkan berlarut. Harus ada solusi formal yang mengikat semua pihak dan menghindarkan warga dari risiko kriminalisasi,” tegasnya.
Proses Hukum Dinilai Tidak Adil
Kuasa hukum dari Kelompok Tani Lewu Taheta, Sdr. Imam, menyoroti penetapan dua warga sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen tanah. Ia mempertanyakan keadilan proses hukum, mengingat dokumen yang dipersoalkan telah ditandatangani pejabat setempat dari RT hingga camat.
“Ini murni persoalan administrasi akibat belum jelasnya batas wilayah. Jika ada kekeliruan, seharusnya diselesaikan secara perdata, bukan pidana,” ungkapnya.
Imam juga menyoroti ketidaksesuaian dalam penggunaan Perda RTRW sebagai dasar penetapan lokasi tanah yang menjadi objek sengketa. Ia menegaskan bahwa penegasan batas wilayah secara legal dan menyeluruh sangat mendesak untuk dilakukan.
DPRD dan Pemerintah Kota Sepakat Carikan Solusi
Ketua DPRD Kota Palangka Raya menyampaikan bahwa proses administratif di pemerintahan memang membutuhkan waktu dan tahapan. Ia meminta masyarakat untuk bersabar dan mendukung langkah-langkah yang telah ditempuh, termasuk usulan perubahan status kawasan ke Kementerian Kehutanan dan koordinasi dengan Kemendagri terkait tapal batas.
Di akhir audiensi, Wali Kota menyampaikan bahwa Pemerintah Kota tengah melakukan berbagai upaya sistematis, termasuk penyusunan ulang RTRW dan RDTR, serta proses pengubahan status lahan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) untuk menghindari tumpang tindih kepemilikan lahan di kemudian hari.
“SPPT bukan bukti kepemilikan, tapi hak garap yang bisa ditarik kembali oleh negara. Karena itu, mari kita carikan jalan tengah yang adil, terbuka, dan menyeluruh. Pemerintah akan terus mengawal proses ini sampai selesai,” tutupnya. (AK)
