Sejumlah kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2024 resmi dilantik pada Kamis (20/2) , dengan mengenakan pakaian dinas upacara berwarna putih. Warna putih ini bukan sekadar simbol, melainkan harapan masyarakat akan kepemimpinan yang segar dan bersih.
Pelantikan ini menandai transisi dari janji-janji kampanye ke realitas kepemimpinan. Setelah resmi dilantik, kepala daerah tidak lagi bergerak dalam dunia citra, melainkan menghadapi tantangan nyata. Bisa jadi, beberapa dari mereka terpilih karena keberhasilan membangun citra di media sosial. Namun, kini mereka harus menyadari bahwa tugas utama mereka bukan lagi sekadar menarik perhatian publik, tetapi menghadirkan solusi nyata bagi masyarakat.

Kemiskinan, misalnya, tidak dapat diatasi hanya dengan aksi simbolis membagikan uang kepada lansia di pinggir jalan yang disorot kamera. Masalah ini memerlukan kebijakan struktural yang mampu menyelesaikan akar permasalahannya. Saat kampanye, “ruang kamuflase” memungkinkan para calon kepala daerah untuk membentuk citra ideal melalui konten yang mengundang simpati. Namun kini, layar kamera telah mati. Masyarakat tidak lagi melihat mereka sebagai aktor dalam drama politik, tetapi sebagai pemimpin yang bertanggung jawab.
Para kepala daerah harus beralih dari sekadar berbagi senyum di depan kamera menjadi berbagi visi dengan warga. Dari sekadar berpura-pura turun ke gorong-gorong menjadi menciptakan sistem drainase yang efektif. Ketika jalan berlubang, masyarakat membutuhkan perbaikan infrastruktur, bukan sekadar konten seseorang yang mengangkat sekarung pasir. Saat banjir melanda, mereka memerlukan solusi penanganan banjir yang sistematis, bukan video dramatis dari lokasi bencana.
Dari “Like” ke Legacy
Setelah dilantik, kepala daerah menjadi pengelola ruang publik. Mengelola ruang publik tidak cukup dengan mengisinya dengan konten menarik demi mendapatkan ribuan “like” di media sosial. Mereka harus menghadirkan kebijakan yang membawa kesejahteraan nyata bagi masyarakat. Ruang publik bukan sekadar panggung pencitraan, melainkan arena aksi dan pelayanan.
Jika mereka tetap bertahan dalam dunia pencitraan, mereka akan terjebak oleh realitas yang terus mengejar. Masyarakat kini tidak lagi peduli dengan jumlah pengikut atau jumlah “like” di media sosial. Yang mereka ingin tahu adalah berapa kilometer jalan yang dibangun, berapa banyak lapangan kerja yang tercipta, dan berapa warga yang berhasil keluar dari jerat kemiskinan.
Realitas tidak mengenal filter. Janji-janji kampanye akan ditagih oleh masyarakat. Banjir, pengangguran, dan pelayanan publik tidak bisa diselesaikan dengan tagar atau unggahan viral. Kini saatnya kepala daerah membuktikan bahwa mereka bukan sekadar bintang media sosial, tetapi pemimpin sejati yang mampu membawa perubahan. (RH)
