“Pangeran Capung” Hisahito Rayakan Kedewasaan, Akankah Jadi Kaisar Terakhir Jepang?

INTERNASIONAL PEMERINTAHAN

PRADANAMEDIA – Pangeran Hisahito dari Jepang resmi menjalani ritual kedewasaan pada Sabtu (6/9), tepat ketika usianya genap 19 tahun. Upacara itu bukan sekadar simbol tradisi, melainkan tonggak penting dalam sejarah Kekaisaran Jepang yang kini menghadapi krisis serius: semakin tipisnya garis penerus takhta pada monarki tertua di dunia.

Hisahito adalah pria pertama dari keluarga kekaisaran yang memasuki usia dewasa dalam empat dekade terakhir. Ia kini menempati posisi kedua dalam garis suksesi setelah ayahnya, Putra Mahkota Akishino. Namun, sejumlah pengamat mengingatkan, terbatasnya jumlah pewaris laki-laki berpotensi menjadikannya kaisar terakhir Jepang.

“Pangeran Capung” yang Gemar Sains dan Bulu Tangkis

Lahir pada 6 September 2006, Hisahito merupakan putra tunggal Putra Mahkota Akishino dan Putri Mahkota Kiko. Ia memiliki dua kakak perempuan: Putri Kako serta mantan Putri Mako, yang kehilangan status kerajaan setelah menikah dengan warga biasa.

Saat ini, Hisahito tengah menempuh studi biologi di Universitas Tsukuba, dekat Tokyo. Di luar akademik, ia dikenal menyukai bulu tangkis serta memiliki ketertarikan mendalam pada serangga, khususnya capung. Hobinya itu bahkan mengantarkannya menulis artikel ilmiah tentang populasi capung di perkebunan Akasaka, Tokyo. Media Barat pun menjulukinya sebagai “Dragonfly Prince” atau “Pangeran Capung”.

Dalam konferensi pers perdananya Maret lalu, ia menegaskan tekad untuk melanjutkan penelitian serangga dan berkontribusi melindungi biodiversitas di perkotaan.

Bayang-bayang Krisis Suksesi

Meski upacara kedewasaan berlangsung khidmat, ancaman krisis suksesi tetap menghantui. Sesuai aturan yang berlaku sejak Undang-Undang Keluarga Kekaisaran 1947, hanya laki-laki dari garis keturunan ayah yang berhak menduduki takhta. Saat ini, selain Hisahito dan ayahnya, hanya Pangeran Hitachi—yang sudah berusia 89 tahun—yang masih berada dalam garis pewarisan.

Padahal, sejarah mencatat Jepang pernah dipimpin oleh delapan kaisar perempuan, dengan Kaisar Gosakuramachi sebagai yang terakhir pada abad ke-18. Dukungan publik terhadap Putri Aiko, putri tunggal Kaisar Naruhito dan Permaisuri Masako, juga cukup besar. Namun, hukum tetap menutup pintu bagi pewarisan takhta perempuan.

Debat Politik yang Berlarut-larut

Upaya reformasi aturan suksesi sesungguhnya sudah lama muncul. Panel ahli pernah mengusulkan agar perempuan yang menikah tetap dianggap anggota keluarga kekaisaran, bahkan ada gagasan untuk mengadopsi keturunan pria dari cabang keluarga lama. Namun, perdebatan selalu berakhir buntu karena perbedaan pandangan antara kalangan konservatif dan progresif.

Mantan Kepala Badan Rumah Tangga Kekaisaran Jepang, Shingo Haketa, menilai situasi ini membebani Hisahito seorang diri. “Pertanyaannya bukan lagi sekadar laki-laki atau perempuan, melainkan bagaimana menyelamatkan monarki dari kepunahan,” ujarnya.

Media konservatif Yomiuri juga menekankan perlunya revisi mendesak Undang-Undang Keluarga Kekaisaran, termasuk opsi agar anak-anak putri kaisar bisa tetap menjadi bangsawan dan membuka jalan bagi perempuan naik takhta.

Monarki di Persimpangan Jalan

Bagi sebagian rakyat Jepang, upacara kedewasaan Hisahito menjadi perayaan sekaligus pengingat akan rapuhnya masa depan institusi berusia lebih dari 1.500 tahun itu. Di balik senyum seorang pemuda yang dijuluki “Pangeran Capung”, tersimpan pertanyaan besar: apakah ia kelak menjadi penyelamat monarki Jepang—atau justru kaisar terakhir dalam sejarah panjang kekaisaran. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *