Jakarta – Penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) membuka peluang baru dalam sistem politik Indonesia. Namun, Titi Anggraini, pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia, mengusulkan agar diberlakukan ambang batas maksimal koalisi partai politik guna mencegah dominasi politik tertentu melalui aksi borong partai.
“Ambang batas maksimal ini relevan dengan arahan MK yang menolak dominasi politik tertentu dan borong partai,” ujar Titi saat diwawancarai Kompas.com, Sabtu (4/1/2025).
Titi menegaskan, ketentuan ini akan mendorong partai politik untuk lebih fokus menyiapkan kader terbaik sebagai calon presiden. Selain itu, pembatasan koalisi besar akan menciptakan persaingan yang lebih sehat dan memperkaya pilihan bagi pemilih dalam kontestasi pilpres.
Rambu-Rambu dari Putusan MK
Dalam putusan nomor 62/PUU-XXII/2024, MK telah memberikan arahan agar pembentuk undang-undang menciptakan mekanisme yang mencegah terlalu banyaknya calon presiden, sekaligus menghindari dominasi koalisi besar yang merugikan sistem politik.
Salah satu ketentuan dalam putusan MK menyebutkan bahwa partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden akan dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu berikutnya. Hal ini bertujuan untuk memastikan setiap partai berpartisipasi aktif dalam demokrasi.
Menurut Titi, angka ambang batas maksimal koalisi sebesar 50–60 persen adalah pilihan yang layak. Dengan aturan ini, akan selalu ada keberagaman pilihan calon presiden yang mencerminkan semangat inklusivitas sebagaimana diamanatkan dalam putusan MK.
Menguatkan Sistem Presidensial
Titi juga menekankan bahwa pembatasan koalisi besar akan memperkuat sistem presidensial. Dengan adanya partai politik di luar koalisi pemerintah, parlemen dapat menjalankan fungsi penyeimbangan kekuasaan secara optimal.
“Koalisi gemuk hanya melemahkan kontrol atas jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, kebijakan ambang batas maksimal akan memastikan pemerintahan berjalan seimbang dengan kekuatan penyeimbang di DPR,” katanya.
Kesimpulan
Usulan ini sejalan dengan upaya menciptakan pilpres yang inklusif, kompetitif, dan mendorong dinamika politik yang sehat di Indonesia. Dengan pembatasan ini, partai politik akan lebih termotivasi untuk menghadirkan kader terbaik dan menghindari praktik dominasi politik yang tidak sehat. (RH)
