Ormas Kebablasan: Ganggu Investasi hingga Bakar Mobil Polisi, Revisi UU Ormas Mengemuka

HUKAM NASIONAL

**PRADANAMEDIA/ JAKARTA — Fenomena organisasi masyarakat (ormas) yang bertindak di luar batas kembali menjadi sorotan publik. Aksi premanisme hingga tindak kekerasan seperti pembakaran mobil polisi menunjukkan perlunya penanganan tegas. Dalam beberapa waktu terakhir, setidaknya terdapat dua insiden mencolok yang melibatkan ormas.

Kasus pertama diungkapkan oleh Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno. Ia menyatakan bahwa pembangunan pabrik BYD di Subang, Jawa Barat, sempat terganggu akibat ulah sekelompok ormas. Melalui unggahan di akun Instagram pribadinya pada Minggu (20/4), Eddy menekankan pentingnya ketegasan pemerintah untuk mengatasi premanisme yang dapat mengancam kepastian investasi di Indonesia.

“Jaminan keamanan merupakan fondasi utama yang harus diberikan kepada para investor. Pemerintah tidak boleh membiarkan tindakan ormas menghambat pembangunan nasional,” ujar Eddy.

Kasus kedua terjadi di Depok, Jawa Barat, di mana empat anggota ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya terlibat dalam aksi pembakaran mobil polisi. Tindakan ini dipicu oleh penangkapan Ketua GRIB Jaya Kelurahan Harjamukti, TS. Hingga kini, keempat pelaku masih buron dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

“Proses pengejaran masih berlangsung. Kami berkomitmen untuk menangkap para pelaku,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Wira Satya Triputra, Rabu (23/4).

PBNU dan Muhammadiyah Serukan Ketegasan

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur, menilai bahwa ormas yang bertindak melanggar hukum dan melakukan kekerasan harus dibubarkan.

“Jika ormas sudah mengambil alih fungsi keamanan negara melalui kekerasan sipil, maka pembubaran adalah langkah yang tepat. Premanisme harus dihentikan. Negara tidak boleh kalah oleh preman,” tegas Gus Fahrur kepada awak media, Minggu (27/4).

Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anwar Abbas, menilai bahwa maraknya tindakan premanisme juga berkaitan dengan persoalan sosial-ekonomi. Ia menyebut, ketidakmampuan anggota ormas mendapatkan pekerjaan layak menjadi salah satu akar masalah.

“Jika mereka memiliki penghidupan yang baik, saya yakin mereka tidak akan membuat keresahan,” ungkap Anwar.

Namun demikian, Anwar berpendapat bahwa revisi UU Ormas bukanlah solusi mendesak. Menurutnya, memperbaiki kesejahteraan anggota ormas jauh lebih penting ketimbang sekadar memperketat regulasi.

Revisi UU Ormas dalam Wacana Pemerintah

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membuka wacana revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Menurut Tito, mekanisme pengawasan terhadap ormas perlu diperketat, termasuk pengelolaan keuangan mereka.

Meski demikian, Tito menegaskan bahwa revisi harus mengikuti mekanisme legislasi yang sah melalui DPR RI.

Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan bahwa pihaknya siap membahas revisi tersebut jika usulan resmi telah diajukan.

“Kami menunggu usulan pemerintah. Jika diajukan, Komisi II DPR akan membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagaimana mestinya,” kata Rifqi, Minggu (27/4).

Kejadian ini menjadi alarm keras bahwa peran ormas dalam demokrasi harus dikembalikan ke jalur yang benar. Kebebasan berserikat harus tetap dalam koridor hukum, bukan menjadi tameng untuk tindakan kriminal. Negara harus hadir memastikan supremasi hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Kita semua sepakat: premanisme tidak boleh tumbuh subur di negara hukum seperti Indonesia. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *