Musim Kemarau Pendek dan Banjir di Sejumlah Wilayah: BMKG dan BRIN Jelaskan Anomali Cuaca Juni 2025

NASIONAL SOSIAL BUDAYA

Pradanamedia/Jakarta, 09 Juni 2025Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya memperkirakan sebagian besar wilayah Indonesia akan mulai memasuki musim kemarau antara April hingga Juni 2025. Namun, hingga 9 Juni, justru sejumlah daerah masih dilanda hujan lebat yang mengakibatkan banjir. Fenomena ini disebabkan oleh lima faktor atmosfer utama yang mendukung pembentukan awan hujan meski secara kalender seharusnya sudah kemarau.

BMKG mencatat bahwa dalam sepekan terakhir, curah hujan dengan intensitas tinggi hingga sangat tinggi masih terjadi di berbagai wilayah. Contohnya, hujan sangat lebat tercatat pada:

  • 2 Juni di Ambon (138,1 mm),
  • 3 Juni di Kepulauan Tanimbar (123,5 mm) dan Sintang, Kalbar (106,4 mm),
  • 4 Juni di Maluku Tengah (123,6 mm),
  • 6 Juni di Ketapang (125,9 mm),
  • 7 Juni di Maluku Tengah (111,1 mm) dan Kota Ambon (138,0 mm),
  • 8 Juni di Sidoarjo (114,0 mm) dan Nganjuk (101,0 mm).

Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, menjelaskan bahwa kemarau tahun ini diprediksi akan berlangsung lebih singkat di banyak wilayah, meskipun ada pula beberapa daerah yang justru mengalami kemarau lebih panjang dari biasanya. Cuaca ekstrem yang masih terjadi disebabkan oleh sejumlah fenomena atmosfer aktif seperti gelombang Kelvin, gelombang Low Frequency, Equatorial Rossby, kemunculan bibit siklon tropis 92W, serta sirkulasi siklonik yang mendukung terbentuknya awan konvektif.

Selain itu, labilitas atmosfer akibat interaksi angin darat dan laut serta kondisi geografis lokal turut memperkuat potensi hujan, terutama di wilayah selatan Indonesia. Dinamika tropis dan kondisi atmosfer yang basah juga memperbesar peluang hujan sedang hingga lebat yang disertai petir, terutama pada siang dan sore hari.

BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem, seperti hujan lebat, angin kencang, dan gelombang tinggi, meskipun musim kemarau secara resmi telah dimulai di beberapa wilayah.

Andri menambahkan bahwa Indeks Monsun Australia diperkirakan menguat pada pekan kedua Juni, yang menandakan masuknya aliran udara kering dari Australia ke wilayah Indonesia, terutama bagian selatan. Hal ini akan memperluas wilayah yang memasuki musim kemarau.

Terkait siklon tropis, BMKG melaporkan bibit siklon 92W terpantau di barat Filipina dengan tekanan minimum 1001 hPa dan kecepatan angin maksimum 15 knot. Meskipun tidak berdampak langsung, keberadaannya memengaruhi cuaca di Kalimantan Utara. Sirkulasi siklonik lainnya juga terpantau di Samudra Hindia barat daya Sumatra dan Samudra Pasifik timur laut Papua, membentuk daerah konvergensi yang memanjang hingga berbagai wilayah di Indonesia.

Daerah pertemuan angin (konfluensi) juga terpantau di Laut Arafura, Laut Banda, Laut Andaman, Laut China Selatan, dan Laut Filipina. Kombinasi kondisi ini meningkatkan potensi terbentuknya awan hujan di sekitar wilayah siklon dan daerah konvergensi.

Untuk periode 10–12 Juni 2025, BMKG memprediksi sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami cuaca berawan hingga hujan ringan. Namun, beberapa daerah berpotensi mengalami hujan sedang.

Sementara itu, Erma Yulihastin, Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, mengungkapkan bahwa beberapa hari lalu ia dihubungi oleh para petani garam dari Gresik yang kebingungan karena hujan masih turun meski seharusnya sudah masuk musim kemarau sejak Mei. Ia menjelaskan bahwa cuaca sangat krusial bagi petani garam karena proses produksi membutuhkan investasi besar yang bergantung pada kondisi kering.

Menurut Erma, hujan lebat di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah utara masih akan berlangsung dua hingga tiga hari ke depan, disebabkan oleh pertemuan gelombang Kelvin dan Rossby tepat di atas langit Jawa Timur, serta tekanan rendah di laut utara Jawa.

Ia menambahkan bahwa kemarau tahun ini tergolong sebagai kemarau basah, di mana periode kering murni berlangsung sangat singkat. Diperkirakan pada paruh kedua Juli, hujan sudah kembali turun. Meskipun kondisi ini bisa dikategorikan sebagai anomali, Erma menegaskan bahwa bukan disebabkan oleh El Niño maupun La Niña. Cuaca seperti ini juga berpotensi mengganggu aktivitas nelayan, khususnya mereka yang berlayar harian. (KN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *