Mengapa Amerika Tidak Merayakan May Day? Jejak Kelam dan Ketakutan Ideologis di Balik 1 Mei

INTERNASIONAL SOSIAL BUDAYA

**PRADANAMEDIA/ WASHINGTON DC – Setiap tanggal 1 Mei, jutaan pekerja di berbagai penjuru dunia turun ke jalan untuk memperingati Hari Buruh Internasional, atau yang lebih dikenal dengan sebutan May Day. Namun, pemandangan ini nyaris tak terlihat di Amerika Serikat (AS), negeri tempat peringatan tersebut justru berakar.

Ironisnya, AS tidak menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Padahal, tonggak sejarah perjuangan buruh bermula dari mogok massal pekerja di Chicago pada akhir abad ke-19, yang menuntut hak atas jam kerja yang lebih manusiawi.

Alih-alih memperingati May Day, pemerintah AS menetapkan Hari Buruh (Labor Day) setiap Senin pertama bulan September—suatu keputusan politik yang sarat muatan ideologis.

Dari Festival Bunga ke Perjuangan Kelas Pekerja

Asal-usul 1 Mei sebenarnya bukan berangkat dari dunia perburuhan. Di era Romawi Kuno, hari tersebut dikenal sebagai perayaan musim semi untuk menghormati Dewi Flora. Tradisi itu kemudian berbaur dengan festival Beltane di Kepulauan Inggris, melahirkan tradisi May Day ala Eropa, lengkap dengan tarian di sekitar maypole dan perayaan bunga.

Ketika imigran Eropa membawa tradisi ini ke Amerika, 1 Mei diwarnai kegiatan sekolah yang mengajarkan anak-anak mengumpulkan bunga dan menari. Namun, semuanya berubah di akhir 1800-an.

Pada 1 Mei 1886, ribuan buruh di AS menggelar mogok kerja menuntut pembatasan jam kerja menjadi 8 jam per hari. Aksi ini berpuncak pada tragedi berdarah Haymarket Affair di Chicago, ketika bom meledak dalam demonstrasi, menewaskan polisi dan warga sipil. Delapan aktivis buruh ditangkap; empat di antaranya dieksekusi, meski bukti keterlibatan mereka lemah.

Tragedi ini menjadi simbol perjuangan buruh internasional. Pada 1889, organisasi sosialis dunia menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional untuk mengenang perjuangan itu.

Ketakutan AS terhadap Simbolisme Sosialis

Namun, pemerintah AS memilih jalur berbeda. Di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap sosialisme dan komunisme, terutama menjelang dan selama Perang Dingin, AS menolak menjadikan 1 Mei sebagai hari buruh nasional. Peringatan ini dinilai terlalu identik dengan gerakan kiri dan ideologi radikal.

Pada tahun 1894, AS menetapkan Hari Buruh resmi setiap Senin pertama di bulan September. Langkah ini dimaksudkan untuk menjaga jarak dari arus buruh internasional yang dianggap berbau radikal dan menghindari pengaruh ideologis dari luar.

Represi terhadap Serikat Buruh dan Dampaknya

Pasca Perang Dunia II, pemerintah AS memperketat regulasi terhadap serikat pekerja. Undang-Undang Taft-Hartley diberlakukan untuk membatasi kekuatan serikat, termasuk melarang sumbangan politik dan mewajibkan para pemimpinnya menandatangani pernyataan anti-komunis.

Undang-undang ini juga mempersempit hak mogok kerja, dengan alasan keamanan nasional. Dampaknya terasa hingga kini—tingkat keanggotaan serikat buruh menurun drastis, dari 33 persen pada tahun 1950 menjadi hanya sekitar 11,3 persen pada 2022.

May Day di AS: Simbol yang Kembali Diperjuangkan

Meskipun tidak diakui secara resmi, sebagian masyarakat AS mulai menghidupkan kembali semangat May Day. Seiring kebangkitan gerakan buruh modern dan meningkatnya kesadaran akan keadilan sosial, aksi damai dan parade mulai bermunculan di sejumlah kota.

Namun bagi sebagian besar warga AS, Hari Buruh tetap identik dengan awal September, bukan awal Mei. Jejak sejarah dan ketegangan ideologis lebih dari satu abad lalu masih membentuk cara bangsa ini memandang perjuangan kelas pekerja. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *