**PRADANAMEDIA/ JAKARTA – Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menilai bahwa dinamika hubungan antara Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) tidak sesederhana yang terlihat di permukaan. Ia menyebut, dalam politik yang cair, isu pertemuan antara keduanya menjadi lebih kompleks dibanding pertemuan Megawati dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Pernyataan ini disampaikan Adi merespons momen kedekatan antara Megawati dan Gibran dalam upacara peringatan Hari Lahir Pancasila pada 2 Juni 2025. Momen itu sempat menjadi sorotan publik, karena dinilai mencairkan suasana pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang penuh ketegangan.

“Pertemuan antara Megawati dan Gibran bisa saja dimaknai dalam konteks acara formal kenegaraan. Gibran hadir sebagai Wakil Presiden, sementara Megawati adalah Ketua Dewan Pengarah BPIP. Jadi, wajar jika keduanya bertemu dan berinteraksi,” ujar Adi kepada awak media, Selasa (3/6).
Namun, menurut Adi, hal yang berbeda berlaku jika membicarakan potensi pertemuan Megawati dengan Jokowi secara informal. “Hubungan mereka lebih rumit, karena ada muatan politik yang lebih dalam dan personal,” tambahnya.
Diketahui, relasi antara PDI-P dan Presiden Jokowi memburuk sejak Pilpres 2024, ketika Gibran – putra Jokowi – mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Keputusan itu bertentangan dengan sikap resmi PDI-P yang mengusung pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Konflik internal ini mencapai puncaknya ketika Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P secara resmi memecat Jokowi, Gibran, dan Wali Kota Medan Bobby Nasution dari keanggotaan partai pada 16 Desember 2024. Pemecatan tersebut diumumkan oleh Ketua DPP Bidang Kehormatan PDI-P, Komarudin Watubun, berdasarkan Surat Keputusan Nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024 yang ditandatangani oleh Megawati dan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto.
“Jokowi dianggap melakukan pelanggaran berat terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai serta Kode Etik dan Disiplin Partai, karena secara terang-terangan menentang keputusan partai dalam pencalonan presiden-wakil presiden,” ujar Komarudin.
PDI-P juga menilai bahwa Jokowi telah menyalahgunakan kekuasaan, termasuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK), yang disebut-sebut sebagai penyebab awal kerusakan sistem demokrasi, hukum, dan etika bernegara.
Sementara itu, pertemuan Megawati dengan Gibran dalam forum formal dinilai lebih cair. Bahkan, menurut Ketua MPR RI Ahmad Muzani, interaksi tersebut diwarnai dengan canda tawa bersama Presiden terpilih Prabowo Subianto dan sejumlah pejabat negara lainnya.
Meski begitu, menurut Adi, momen formal ini belum bisa menjadi tolok ukur pulihnya hubungan antara Megawati dan Jokowi. “Momen seperti itu belum tentu bisa diulang dalam konteks informal, apalagi jika belum ada rekonsiliasi politik yang jelas,” pungkasnya. (RH)
