PALANGKA RAYA – Ribuan elemen masyarakat Kalimantan Tengah, terdiri dari buruh, mahasiswa, aktivis hak asasi manusia, hingga masyarakat sipil, akan menggelar aksi peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day yang jatuh pada 1 Mei 2025. Aksi ini menjadi ruang bersama untuk menyuarakan keresahan atas ketimpangan sosial dan pelanggaran hak-hak buruh yang terus berlangsung.
Koordinator aksi, Dida Pramida, menegaskan bahwa peringatan May Day kali ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum perlawanan terhadap sistem ketenagakerjaan yang semakin menindas, terutama di wilayah Kalimantan Tengah.
“Di tengah pertumbuhan ekonomi daerah yang ditopang sektor perkebunan, pertambangan, dan jasa, nasib jutaan buruh masih jauh dari kata sejahtera,” ujar Dida pada Kamis (1/5).

Ia menyoroti kondisi buruh di sektor perkebunan sawit yang hingga kini masih menghadapi pelbagai persoalan serius. Meski sektor ini menyerap sekitar 335.000 tenaga kerja lokal—atau sekitar 13 persen dari populasi Kalteng—fakta di lapangan menunjukkan banyak buruh sawit yang digaji di bawah upah minimum, bekerja tanpa kontrak, dipaksa melebihi jam kerja, serta minim perlindungan keselamatan kerja.
“Dan semua pelanggaran itu nyaris tidak pernah ditindak tegas oleh pihak berwenang,” tambahnya.
Lebih jauh, Dida menyebut bahwa sistem ketenagakerjaan di sektor sawit mencerminkan bentuk perbudakan modern yang terus dipelihara. Penindasan struktural ini, menurutnya, semakin parah sejak disahkannya UU Cipta Kerja tahun 2020, yang dinilai mempersempit ruang perlindungan bagi kaum pekerja.
Tak hanya buruh, masyarakat adat juga menjadi korban atas nama pembangunan. “Tanah-tanah adat dirampas untuk investasi, dan warga adat terpaksa menjadi buruh harian tanpa kepastian kerja maupun upah yang layak,” jelas Dida.
Ia menggambarkan bahwa krisis ekonomi yang berkepanjangan tak hanya menghantam kelas pekerja, tetapi juga memperparah ketimpangan dan mempersempit ruang hidup rakyat kecil di berbagai penjuru Indonesia.
“Kondisi ini menuntut rakyat untuk bersuara, tidak hanya memperjuangkan kepentingan kelompok sendiri, tetapi juga memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat tertindas,” katanya.
Aksi ini juga menjadi panggung untuk menyoroti nasib Pekerja Rumah Tangga (PRT), yang selama hampir dua dekade terabaikan oleh negara. Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT) belum juga disahkan, meski masuk daftar prioritas legislasi nasional.
“Sebanyak 4 juta PRT di Indonesia—mayoritas adalah perempuan—hingga kini belum diakui sebagai pekerja. Mereka tetap berada dalam bayang-bayang eksploitasi, tanpa perlindungan hukum, dan rawan kekerasan,” ungkap Dida.
Ia mendesak agar RUU PPRT segera disahkan demi memberikan kepastian hukum, perlindungan, dan keadilan bagi para PRT yang selama ini terpinggirkan dari wacana pembangunan.
Menurut Dida, “Indonesia sedang berada dalam kegelapan, terutama bagi rakyat tertindas—baik di desa maupun kota. Pemerintah dan korporasi besar masih membiarkan pelanggaran hak-hak buruh terjadi secara sistemik.”
Ia juga menyinggung diberlakukannya UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023, yang dinilai semakin menggerus hak-hak dasar buruh seperti kepastian kerja, pengupahan layak, dan kondisi kerja yang manusiawi.
“Maka dari itu, aksi May Day 2025 adalah peringatan keras bagi pemerintah agar bersikap tegas terhadap perusahaan yang abai terhadap hak-hak buruh,” tegasnya.
Dida menutup pernyataannya dengan menyerukan bahwa buruh bukan sekadar bagian dari rantai produksi, tetapi adalah penggerak utama roda ekonomi dan fondasi pembangunan nasional. Tanpa jaminan kesejahteraan dan perlindungan terhadap hak-haknya, pembangunan hanyalah ilusi yang tidak adil dan tidak berkelanjutan. (RH)
