PRADANAMEDIA / YANGON – Suasana khusyuk Festival Bulan Purnama Thadingyut di Myanmar berubah menjadi mimpi buruk berdarah baru-baru ini. Sedikitnya 40 orang, termasuk anak-anak, tewas ketika militer Myanmar melancarkan serangan udara brutal di tengah perayaan keagamaan Buddha yang juga dijadikan ajang protes terhadap junta.
Peristiwa itu terjadi di Kotapraja Chaung U, wilayah Sagaing, salah satu basis perlawanan terhadap kekuasaan militer. Menurut laporan AFP, warga tengah berkumpul sekitar pukul 19.00 untuk berdoa dan menyuarakan penolakan terhadap rezim ketika pesawat tempur menjatuhkan bom di tengah kerumunan. Serangan mendadak itu menewaskan lebih dari 40 orang dan melukai sekitar 80 lainnya.
Seorang panitia yang enggan disebutkan namanya menuturkan bahwa pihaknya sempat memperingatkan warga untuk segera menyelamatkan diri. “Sekitar sepertiga dari mereka berhasil melarikan diri,” ujarnya lirih. Namun, hanya beberapa menit berselang, paramotor bermesin melintas rendah dan melepaskan dua bom lagi ke arah massa.
“Anak-anak benar-benar hancur berkeping-keping,” katanya dengan suara bergetar. “Pagi ini kami masih mengumpulkan potongan tubuh yang berserakan di tanah.”
Serangan susulan dilaporkan terjadi empat jam kemudian dan menghancurkan sebuah sekolah, meski tidak menimbulkan korban tambahan.

Taktik Baru: Bom dari Udara dengan Paramotor
Penggunaan paramotor atau paraglider bermesin sebagai alat serangan bukan hal baru dalam strategi militer Myanmar. Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM mencatat, sepanjang tahun lalu, junta telah menggunakan kendaraan udara kecil tersebut untuk menjatuhkan mortir dan bahan peledak ke kawasan sipil di wilayah Sagaing, Rakhine, dan Chin.
“Paramotor bisa membawa hingga tiga orang dan sejumlah amunisi,” tulis laporan PBB itu. Amnesty International menambahkan, warga sipil kini mulai hafal suara khas mesin paramotor yang menyerupai gergaji mesin dan biasanya segera berlindung. Namun pada malam nahas itu, mereka tak sempat bereaksi.
“Doa dan nyanyian dari pengeras suara terlalu keras, kami tak mendengar suara mesinnya datang,” ujar saksi mata.
Amnesty International: Dunia Tak Boleh Bungkam
Amnesty International mengecam keras serangan udara tersebut. Dalam pernyataannya, organisasi HAM itu menilai insiden ini sebagai “peringatan mengerikan” bahwa warga sipil di Myanmar semakin tidak terlindungi.
“Komunitas internasional tampaknya telah melupakan konflik di Myanmar, dan militer memanfaatkan kelengahan itu untuk melakukan kejahatan perang tanpa konsekuensi,” tegas Joe Freeman, peneliti Amnesty untuk Myanmar.
Amnesty mendesak agar ASEAN meningkatkan tekanan diplomatik terhadap junta, terlebih menjelang pertemuan tingkat kawasan akhir bulan ini.
Konflik yang Kian Brutal dan Pemilu Bayangan
Myanmar telah terjerumus ke dalam perang saudara sejak kudeta militer 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi. Sejak itu, lebih dari puluhan ribu orang tewas dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi dari rumah mereka.
Wilayah Sagaing menjadi salah satu medan pertempuran paling sengit antara pasukan junta dan kelompok perlawanan bersenjata. Pengamat menilai, serangan udara belakangan ini merupakan upaya militer untuk merebut kembali wilayah yang kini dikuasai kelompok pro-demokrasi.
Menurut Freeman, junta tampaknya tengah berupaya memperluas kendali wilayah menjelang pemilu Desember mendatang—pemilu yang banyak pihak yakini hanya akan menjadi sarana untuk melegitimasi kekuasaan militer.
Hingga Kamis (9/10) malam, militer Myanmar belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait serangan di Chaung U.
Tragedi di Chaung U menambah panjang daftar serangan udara terhadap warga sipil di Myanmar yang kerap terjadi tanpa sanksi internasional berarti. Situasi ini kembali menegaskan lemahnya mekanisme perlindungan sipil di kawasan Asia Tenggara dan tantangan moral bagi ASEAN dalam menegakkan Piagam HAM-nya sendiri.
Jika kekerasan terus dibiarkan tanpa akuntabilitas, Myanmar berisiko menjadi “suriah baru” di Asia, di mana perang tanpa akhir menelan generasi yang seharusnya menjadi masa depan bangsa. (RH)

