Pradanamedia / Jakarta – Kebijakan pemerintah mengucurkan dana Rp200 triliun ke perbankan menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Ekonom Ichsanuddin Noor menilai langkah tersebut sulit menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi karena tetap mensyaratkan nasabah yang bankable.
Menurut Ichsan, kebijakan ini masih melanjutkan pola lama perbankan yang procyclical, yakni hanya berani menyalurkan kredit kepada pihak yang sudah dianggap aman. “Sebelum ada dana Rp200 triliun pun, perbankan di bawah Sri Mulyani sudah menempuh kebijakan procyclical. Kini, kebijakan serupa tetap dipertahankan,” ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Othniel Frederic Palit, menilai kucuran tersebut justru berpotensi menjadi beban baru. Pasalnya, per Juni 2025, tercatat kredit macet dan kredit menganggur sudah mencapai Rp2.304 triliun. “Menambah likuiditas tanpa strategi distribusi yang jelas hanya memperbesar tumpukan kredit nganggur,” tegas Dolfie.
Namun, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berpandangan sebaliknya. Keduanya optimistis penempatan dana pemerintah di lima bank milik negara dapat memperkuat likuiditas, mendorong penyaluran kredit, dan memberi ruang penurunan bunga pasar.
Kebijakan Rp200 triliun ini kini berada di persimpangan: apakah menjadi stimulus ekonomi yang efektif, atau justru menambah risiko kredit macet di tengah kondisi perekonomian yang masih rapuh. (AK)
