Pradanamedia/Jakarta – Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) menegaskan komitmennya untuk menggelar aksi damai dalam rangka peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025. Sekretaris Jenderal KSBSI, Dedi Hardianto, menyampaikan bahwa meskipun aksi akan menyuarakan berbagai persoalan buruh, seperti jam kerja, upah, dan perlindungan tenaga kerja, mereka tetap mengutamakan ketertiban dan kedamaian.
“Aksi kami adalah perayaan yang tetap damai, meskipun menyuarakan sejumlah persoalan yang masih belum terselesaikan,” ujar Dedi dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (25/4).
Diperkirakan sekitar 1.500 hingga 2.000 massa akan terlibat dalam aksi ini, sesuai hasil kesepakatan internal satu bulan lalu. Meski demikian, Dedi mengaku belum bisa memastikan apakah KSBSI akan bergabung dengan aliansi serikat lain atau menggelar aksi di Gelora Bung Karno (GBK), karena belum ada komunikasi yang intensif terkait hal tersebut.
Hari ini, KSBSI dijadwalkan menggelar rapat konsolidasi untuk mematangkan rencana aksi, termasuk menentukan lokasi pasti. “Seperti biasa, May Day akan diawali dengan longmarch, dan kemungkinan kami akan berkumpul di sekitar Patung Kuda,” tambahnya.
Dedi juga menjelaskan bahwa isu-isu utama yang akan diangkat mencakup pengawalan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, sebagaimana mandat Mahkamah Konstitusi pada 2023. Selain itu, KSBSI menolak penerapan wajib iuran dalam UU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), dan tengah menggugat beleid tersebut ke MK.
“Ada juga isu penghentian PHK massal, permintaan penyediaan lapangan kerja oleh pemerintah, serta desakan agar pasal 151 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang perlindungan tenaga kerja dapat ditegakkan kembali,” jelasnya.
Terkait dana pensiun, KSBSI mendorong agar pekerja yang terkena PHK tetap dapat menerima manfaat pensiun, melalui skema Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). “Dana pensiun itu sudah dianggarkan oleh perusahaan. Jangan sampai ketika ada persoalan, buruh yang jadi korban,” katanya.
Meski vokal menyuarakan kritik, KSBSI tetap menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan Prabowo Subianto, selama kebijakan yang dibuat berpihak kepada buruh. Mereka juga mendorong adanya ruang partisipatif bagi pekerja dalam proses pembuatan undang-undang.
“Pemerintah perlu membuka ruang dialog dengan buruh dalam proses legislasi. Jangan sampai terjadi lagi seperti UU Cipta Kerja yang kontroversial,” ujar Dedi.
Ia berharap semua pihak, termasuk pemerintah dan organisasi buruh, dapat duduk bersama membahas perlindungan ketenagakerjaan secara menyeluruh, mulai dari penegakan hukum hingga sistem pengupahan yang adil. (KN)
