OLEH: Firdaus Arifin Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
DI BALIK palu yang diketuk hakim dalam ruang sidang, sesungguhnya bukan hanya ada putusan hukum. Di sana terletak simbol kekuasaan negara, kredibilitas sistem peradilan, dan—seharusnya—cerminan etika publik. Namun, simbol itu kini terancam menjadi tanda kemunafikan, ketika sebagian penegak hukum justru larut dalam gaya hidup hedonis yang mencolok, bertabrakan dengan semangat keadilan dan kesederhanaan yang menjadi fondasi profesi mereka.
Ketua Mahkamah Agung, Sunarto, telah membuka pintu kritik itu secara terang-terangan: hakim dengan gaji Rp 23 juta, tapi memakai jam tangan Rp 1 miliar, sepatu Bally, dan mengendarai mobil Porsche. Dalam forum resmi, ia bahkan bertanya dengan nada getir: “Kok enggak malu?” Pernyataan itu bukan sekadar retorika. Ia adalah cermin dari kegelisahan moral di puncak lembaga yudikatif di negeri ini.

Ketika seorang hakim tidak lagi merasa malu untuk hidup mewah di tengah tuntutan integritas, maka yang kita hadapi bukan sekadar pelanggaran etik, tapi krisis institusional. Palu yang digenggam hakim bukan sekadar alat formal memulai dan menutup persidangan. Ia adalah simbol dari kekuasaan hukum yang bersumber dari kepercayaan publik. Ketika palu itu dijalankan oleh tangan yang tak mampu membedakan batas antara kewenangan dan kehendak pribadi, maka kekuasaan berubah menjadi alat kepentingan.
Hakim adalah figur publik yang keberadaannya menyimpan konsekuensi etis. Ia bukan profesi biasa. Ia tak bisa berdalih bahwa gaya hidup adalah urusan pribadi. Karena dalam sistem hukum, kepercayaan adalah mata uang utama. Dan kepercayaan tidak tumbuh dari teks, tetapi dari laku hidup.
Dalam ilmu hukum, kita diajarkan bahwa etika profesi hukum tak berhenti di ruang pengadilan. Etika mengikat hingga ke dalam kehidupan sehari-hari. Sederhana bukan berarti miskin, tapi tahu batas. Hidup pantas bukan berarti menolak kenyamanan, tapi menjauhi kemewahan yang menimbulkan syak wasangka. Ketika seorang hakim memakai arloji seharga satu unit rumah, publik akan bertanya, dari mana uangnya?
Pertanyaan itu rasional. Bahkan wajib. Karena hakim adalah aktor yang memutus nasib orang lain, dan integritasnya haruslah tak bercela. Jika gaji tak cukup untuk menutupi gaya hidup, maka dari mana ia mencukupi? Di titik inilah hukum berjumpa dengan etika. Tanpa etika, hukum akan kehilangan otoritas moralnya. Tanpa otoritas moral, hukum hanyalah teknik administrasi kekuasaan yang kering makna.
Keteladanan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2025 tentang penerapan pola hidup sederhana bagi aparatur peradilan adalah langkah normatif yang perlu dihargai. Edaran tersebut melarang aparatur pengadilan menunjukkan gaya hidup konsumtif, memamerkan kekayaan di media sosial, memberi oleh-oleh ke pejabat MA, hingga mengunjungi tempat hiburan malam. Namun surat edaran bukanlah panacea. Ia hanya akan menjadi dokumen administratif tanpa keteladanan dari pimpinan.
Ketika Ketua MA sendiri memilih bicara terbuka soal gaya hidup mewah di kalangan hakim, itu artinya ada keprihatinan serius—dan tentu saja harapan bahwa perubahan masih mungkin dilakukan. Etika, pada akhirnya, tidak lahir dari larangan, melainkan dari contoh. Maka jika lembaga peradilan ingin dipulihkan martabatnya, pemulihan itu harus dimulai dari atas, dari mereka yang memegang palu tertinggi.
Di sinilah letak krusialnya: rasa malu. Kita hidup di era di mana rasa malu dianggap kelemahan. Padahal bagi penegak hukum, rasa malu adalah benteng terakhir moralitas. Rasa malu untuk mengambil yang bukan haknya. Rasa malu untuk tampil berlebihan. Rasa malu untuk menjadikan jabatan sebagai sarana pamer. Ketika rasa malu lenyap, maka palu kehilangan kehormatannya. Dan hakim menjelma menjadi administrator kekuasaan belaka, bukan pelayan keadilan.
Sunarto benar saat menyatakan, “Keputusan bukan lagi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi berdasarkan keuangan yang maha kuasa”. Ucapan itu menyentuh akar persoalan: bahwa krisis peradilan hari ini bukan sekadar soal sistem, tapi juga soal moralitas personal. Gaya hidup mewah bukan hanya soal individu. Ia menjadi refleksi dari kebudayaan kelembagaan yang permisif terhadap penyimpangan.
Ketika mobil mewah, barang bermerek, dan jam tangan eksklusif menjadi simbol status baru para hakim, maka peradilan kehilangan jarak dari gaya hidup selebritas. Dan dalam sistem demokrasi yang sehat, jarak itu penting. Karena tanpa jarak, lembaga hukum tidak bisa menjadi kontrol atas kekuasaan. Ia akan mudah ditarik dalam pusaran politik uang, dan lebih buruk lagi, menjadi bagian dari jejaring korupsi.
Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan Indonesia masih rapuh. Survei Indikator dan LSI menunjukkan bahwa Mahkamah Agung dan lembaga pengadilan kerap berada di bawah KPK dan TNI dalam hal tingkat kepercayaan.
Salah satu sebabnya adalah ketidaksinkronan antara sikap hidup hakim dan nilai yang mereka tegakkan. Ketika putusan peradilan dicurigai karena gaya hidup hakim yang berlebihan, maka proses hukum kehilangan legitimasi. Bahkan putusan yang benar sekalipun bisa dianggap sebagai hasil “main belakang” hanya karena penampilan hakim yang tak wajar.
Kita harus menyadari bahwa integritas tidak hanya soal bersih, tapi juga soal tampak bersih. Dalam hukum, persepsi adalah bagian dari realitas.
Reformasi peradilan tidak bisa hanya diserahkan kepada regulasi dan pengawasan. Ia harus masuk ke dalam ruang paling pribadi: gaya hidup. Pengendalian gaya hidup harus menjadi bagian dari strategi pembenahan struktural. Audit harta kekayaan, penelusuran transaksi mencurigakan, hingga pengawasan media sosial, bukanlah bentuk intervensi atas privasi, tetapi bagian dari pertanggungjawaban etik jabatan.
Selain itu, lembaga seperti Komisi Yudisial harus diberi penguatan, bukan hanya dalam pengawasan etik, tapi juga dalam mendeteksi dini potensi penyimpangan. Sementara dari sisi internal, promosi dan mutasi hakim harus berbasis meritokrasi dan rekam jejak integritas. Tanpa ini semua, kita akan terus melihat paradoks: hakim yang memutus koruptor, tapi gaya hidupnya lebih mewah dari terdakwa.
Hedonisme di balik palu bukanlah isu personal. Ia adalah persoalan institusional yang menuntut perbaikan kolektif. Jika palu adalah simbol keadilan, maka tangan yang menggenggamnya harus bersih dari ambisi duniawi. Kita tidak bisa berharap keadilan ditegakkan oleh mereka yang menjadikan hukum sebagai panggung untuk pencitraan.
Kini saatnya Mahkamah Agung tidak hanya bicara, tapi bertindak. Dan saatnya para hakim tidak hanya memutus perkara, tapi juga memutus hubungan mereka dengan gaya hidup yang merusak martabat hukum. Karena pada akhirnya, publik tak butuh hakim yang glamor. Publik butuh hakim yang pantas. Yang sederhana dalam hidup, tapi tegas dalam putusan. Yang menjunjung keadilan, bukan memamerkan status. Dan jika rasa malu telah kembali ke ruang sidang, maka palu akan kembali menjadi suara kebenaran. (RH)
