Ketika APBN Jadi Penyangga Ambisi: Belajar dari Kasus Kereta Cepat dan IKN

INSFRASTRUKTUR NASIONAL

OLEH : Abdul Mukhlis Pemerhati Sosial Politik dan Kebijakan Publik / Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga

PRADANAMEDIA – Kemungkinan kedua—dan barangkali yang lebih serius—adalah bahwa pergeseran beban pembiayaan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bukanlah kebetulan, melainkan konsekuensi dari desain kebijakan yang sejak awal memang membuka ruang intervensi negara.

Dalam pola semacam ini, janji partisipasi swasta kerap dijadikan alat untuk meredam resistensi publik maupun politik di tahap awal proyek. Namun, para perancang kebijakan sebenarnya menyadari bahwa cepat atau lambat, negara akan tetap masuk melalui jalur lain: penetapan status Proyek Strategis Nasional (PSN), penyertaan modal negara (PMN), atau pemberian penjaminan pinjaman.

Terlepas dari dua kemungkinan tersebut, kasus Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) dan Ibu Kota Nusantara (IKN) sama-sama memperlihatkan bagaimana politik anggaran kita telah bergeser jauh dari tujuan utamanya.

Alih-alih menjadi instrumen untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, APBN kini lebih sering tersedot untuk proyek-proyek besar yang manfaatnya terbatas bagi masyarakat luas.

Proyek kereta cepat, misalnya, menghabiskan biaya lebih dari Rp116 triliun hanya untuk memangkas waktu tempuh Jakarta–Bandung menjadi kurang dari satu jam. Pengguna utamanya adalah kelompok menengah ke atas yang mampu membayar tarif tinggi, sementara manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat berpenghasilan rendah relatif kecil.

Paradigma “megah berarti maju” masih terus dipertahankan, meski kontribusi ekonominya minim dan dampak sosialnya terbatas. Hal serupa juga terlihat pada pembangunan IKN, di mana dana publik dalam jumlah besar telah digelontorkan tanpa kejelasan signifikan terkait pemerataan pembangunan antarwilayah.

Padahal, jika dana sebesar itu dialihkan ke sektor yang lebih menyentuh kehidupan rakyat — seperti pendidikan, layanan kesehatan, perlindungan sosial, pemberdayaan usaha kecil, dan penciptaan lapangan kerja layak — dampaknya akan jauh lebih nyata. Investasi di sektor-sektor tersebut tidak hanya meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga memperkuat daya beli masyarakat dan menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Yang sering luput dari perdebatan publik adalah konsekuensi fiskal jangka panjang: setiap rupiah yang digunakan untuk menutup pembengkakan biaya proyek atau menjamin pinjaman otomatis mengurangi ruang fiskal untuk kebutuhan prioritas rakyat. Dalam jangka panjang, praktik ini berpotensi memperlebar ketimpangan pembangunan sekaligus menciptakan risiko fiskal lintas generasi.

Distorsi politik anggaran ini semakin parah karena fungsi pengawasan DPR yang melemah. Secara konstitusional, DPR memiliki tanggung jawab memastikan bahwa APBN digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, dalam praktiknya, fungsi tersebut sering tidak berjalan optimal.

Mayoritas fraksi berada di bawah koalisi pemerintahan, membuat kritik terhadap proyek-proyek besar kerap diredam demi stabilitas politik. Akibatnya, keputusan strategis pembiayaan publik lebih banyak diambil oleh eksekutif, sering kali tanpa mekanisme pengawasan publik yang transparan.

DPR pun, pada akhirnya, lebih sering berperan sebagai pemberi legitimasi ketimbang pengawas anggaran negara.

Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin APBN perlahan kehilangan maknanya sebagai alat pemerataan dan kesejahteraan rakyat, berubah menjadi sekadar penyangga ambisi politik pembangunan megah yang tidak inklusif. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *