Sepanjang Jumat, 7 Maret 2025, saya bertemu dengan sejumlah politisi dari berbagai partai politik (parpol) di tempat berbeda. Dari pertemuan tersebut, saya menangkap satu kesan yang mengkhawatirkan: parpol seakan tersandera dan kehilangan daya tawarnya. Mereka tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi dinamika politik nasional yang saya sebut sebagai kondisi “tintrim”—situasi di antara harapan dan kecemasan, antara kepastian dan ketidakpastian.
“Jangan terlalu berharap pada parpol. Kita ini ngomong keras sedikit langsung kena semprit,” ujar seorang politisi senior yang juga anggota DPR.
Oligarki dan Industrialisasi Politik
Parpol kini telah berkembang menjadi oligarki tersendiri, di mana ketua umum partai berperan sebagai pemilik mutlak. Para “pemilik” inilah yang berembuk dengan penguasa untuk menentukan siapa yang mendapat apa, kapan, dan bagaimana—seperti yang dijelaskan oleh Harold Lasswell dalam teori politiknya pada 1936.
Di atas ketua umum partai, masih ada sentralisasi oligarki yang lebih besar, yang mengontrol arah politik dan kebijakan bangsa. Fenomena ini terlihat jelas dalam distribusi jabatan dan proyek-proyek strategis di berbagai kementerian. Tidak jarang, keputusan-keputusan penting beredar terlebih dahulu di dunia digital sebelum akhirnya dibenarkan atau direvisi secara terburu-buru oleh pihak terkait.
Dalam era pasca-Reformasi, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) tidak hilang, melainkan bertransformasi menjadi “NKK”—”Narik Kawan-Kawan”—di mana kekuasaan dijalankan berdasarkan patronase politik dan ormas.
UII Yogyakarta: Suara Perlawanan dari Kampus
Di tengah kelumpuhan parpol dan meredupnya idealisme di berbagai kampus, sinar terang justru muncul dari Yogyakarta, khususnya Universitas Islam Indonesia (UII). Kampus ini menjadi pusat gerakan kesadaran baru, yang dipimpin oleh Rektor UII, Dr. Fathul Wahid, lulusan Universitas Adger, Norwegia.

Pada Kamis (6/3), UII secara terbuka mengeluarkan pernyataan sikap politik yang menyoroti krisis keteladanan di kalangan elite. Dalam pernyataan tersebut, UII menekankan pentingnya menjaga tutur kata, sikap, tindakan, dan gaya hidup pejabat publik agar tetap berempati dan mampu membangun kepercayaan rakyat.
UII juga melihat tanda-tanda kemunduran demokrasi yang semakin nyata. Kebebasan berpendapat dan berekspresi semakin terancam dengan meningkatnya intimidasi, ancaman kriminalisasi, dan pembungkaman terhadap aktivis, seniman, akademisi, serta jurnalis.
Seruan UII untuk Menyelamatkan Demokrasi
UII menyerukan kepada masyarakat sipil untuk tetap berperan aktif sebagai kontrol sosial, agar tidak memberikan ruang lebih luas bagi penyimpangan kekuasaan. Dalam pernyataannya, UII menyampaikan enam tuntutan utama:
- Memastikan Ruang Demokrasi Terbuka
Pemerintah harus menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi serta melindungi aktivis, seniman, akademisi, dan jurnalis dari intimidasi dan kriminalisasi. - Menjadikan Kebijakan Berbasis Data dan Ilmu Pengetahuan
Setiap kebijakan harus didasarkan pada data yang valid dan pendekatan ilmiah guna memastikan akurasi dan relevansi. - Menegakkan Hukum Secara Transparan dan Tanpa Pandang Bulu
Pemberantasan korupsi harus dilakukan secara serius dengan memperkuat lembaga antikorupsi dan mengawasi anggaran secara ketat. - Menjamin Transparansi dalam Efisiensi Pemerintahan
Setiap langkah efisiensi harus tetap mengutamakan akuntabilitas dan kepentingan masyarakat luas. - Menjadi Teladan bagi Rakyat
Pejabat negara harus menjaga integritas dengan menghindari gaya hidup mewah dan tindakan yang mencederai kepercayaan publik. - Mengajak Masyarakat Sipil untuk Berperan Aktif
Rakyat harus tetap kritis dan aktif dalam mengawasi kebijakan pemerintah agar demokrasi tetap sehat.
Akankah Suara Yogyakarta Bergulir Lebih Luas?
Di tengah kondisi politik yang “tintrim”, pernyataan UII menjadi salah satu suara yang tegas dan lugas dalam memperingatkan arah perjalanan demokrasi Indonesia. Apakah suara dari Yogyakarta ini akan berkembang menjadi gerakan nasional yang lebih besar? Biarkan sejarah yang mencatatnya. (RH)
