“Kembali ke Akar: Saatnya Bangun Indonesia Berbasis Trisakti dan Pancasila”

NASIONAL OPINI PUBLIK

OLEH : Syarif Bastaman adalah pemikir kebangsaan berbasis Soekarnoisme. Berlatar pengusaha sumber daya alam melalui PT Syabas Energi, Kang Iip, panggilannya, juga aktif dalam pergerakan demokrasi Indonesia sejak lama, antara lain menjadi salah satu founder Setara Institute dan pernah menjadi Ketua BAMUS (Badan Musyawarah Sunda). Pemikirannya juga ditempa basis ilmu hukum mumpuni dengan pernah menjadi asisten dosen (alm) Prof Mochtar Kusumaatmadja. Juga, atlet bridge nasional peraih medali SEA Games serta menjabat Ketum PB. Gabsi (Gabungan Bridge Seluruh Indonesia) 2022-2026.

China hari ini bukan menjadi kekuatan global semata karena kekayaan ekonomi atau jumlah penduduknya yang besar. Keberhasilan mereka bertumpu pada strategi pembangunan nasional yang berlandaskan nilai-nilai kebangsaan—sebuah pendekatan yang sejatinya sangat dekat dengan prinsip Trisakti dan Pancasila: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ini bukan sekadar slogan. Ini adalah kerangka strategis yang harus dijalankan secara utuh dan konsisten apabila kita sungguh-sungguh ingin menjadi bangsa besar.

Indonesia sebenarnya memiliki semua potensi untuk mewujudkan cita-cita itu. Kita dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, wilayah yang luas, dan keberagaman budaya yang luar biasa. Namun sayangnya, potensi tersebut belum sepenuhnya menjadi kekuatan nasional karena kita kerap kehilangan arah dalam tata kelola sistem. Politik yang dikendalikan oleh uang dan ekonomi yang dikuasai oligarki telah menjauhkan kita dari cita-cita keadilan sosial. Demokrasi pun tereduksi menjadi pesta lima tahunan yang dipenuhi transaksi dan manipulasi. Sementara Pancasila, yang seharusnya menjadi landasan nilai, sering kali hanya dijadikan ornamen retoris tanpa makna substantif.

Kita perlu mengingat bahwa Pancasila bukanlah sekadar kata benda yang diwariskan begitu saja, melainkan kata kerja—sebuah ideologi yang harus dihidupkan dalam tindakan. Nilai-nilainya—percaya kepada Tuhan, menjunjung tinggi kemanusiaan, memperkuat persatuan, menegakkan demokrasi yang bijaksana, dan menciptakan keadilan sosial—bukan sekadar narasi, melainkan perintah yang menuntut perwujudan nyata dalam kebijakan, dalam sistem, dan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun kenyataannya, keadilan sosial masih jauh dari tercapai. Sebagian besar rakyat masih berada di pinggiran, dengan akses terbatas terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan lapangan pekerjaan. Ketimpangan ekonomi terus menganga, dan pembangunan berjalan timpang. Di selatan Jawa Barat, seperti Tasikmalaya—kampung halaman saya sendiri—Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih berada di bawah rata-rata nasional. Sementara itu, kelompok elite yang memiliki akses terhadap modal dan kekuasaan menikmati hasil pembangunan secara eksklusif.

Kegagalan mewujudkan sila kelima Pancasila ini tidak bisa dilepaskan dari sistem yang korup, biaya politik yang mahal, dan struktur pemerintahan yang boros. Pemilu sering kali berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan berbasis uang, bukan pertarungan ide. Demokrasi kita telah kehilangan dimensi hikmat kebijaksanaan dan terjebak dalam kalkulasi suara terbanyak.

Sudah saatnya kita mereformasi sistem politik secara menyeluruh. Salah satu langkah mendesak adalah menjadikan pembiayaan politik sepenuhnya tanggung jawab negara. Hal ini penting bukan hanya untuk memastikan transparansi, tetapi juga untuk membuka jalan bagi anak-anak muda berintegritas yang selama ini tersingkir karena tidak punya akses terhadap dana besar. Reformasi sistem ini akan memungkinkan kaderisasi yang sehat dan merata, serta mencegah dominasi politik oleh pemilik modal atau dinasti politik.

Selain itu, transparansi keuangan partai politik adalah keharusan. Ini bukan urusan teknis semata, melainkan persoalan mendasar tentang kepercayaan publik. Jika tidak diawasi, partai politik berpotensi menjadi alat para sponsor gelap yang mengendalikan negara dari balik layar. Ketika itu terjadi, negara bukan lagi milik rakyat, melainkan milik segelintir elite. Demokrasi menjadi panggung sandiwara, dan rakyat hanya sekadar penonton.

Kita pun harus berhenti menggantungkan harapan pada figur-figur kharismatik belaka, apalagi yang hanya menawarkan simbolisme kedaerahan. Identitas etnis atau lokalitas bukanlah solusi jika tidak diiringi gagasan dan sistem. Kita tidak butuh “Sundanesse Idol” yang menjual nostalgia masa lalu, melainkan kepemimpinan yang berpijak pada sistem dan nilai.

Kebangkitan Indonesia tidak boleh bergantung pada demagogi atau kultus individu. Kita butuh pendidik bangsa—pemimpin yang menyalakan lilin pengetahuan, bukan mematikan lampu agar tampak sebagai penyelamat. Pendidikan politik harus dimulai sejak dini, mengajarkan bukan hanya hak suara, tetapi bagaimana membangun negara yang adil dan berpihak.

Kita bisa belajar dari banyak negara. Vietnam menunjukkan bahwa industrialisasi bisa dilakukan tanpa mengorbankan stabilitas sosial. Malaysia membuktikan bahwa pendidikan dan keteraturan sosial bisa berjalan seiring. Bahkan klub sepak bola Barcelona di Katalonia berhasil membangun kekuatan ekonomi berbasis koperasi yang dimiliki rakyat, bukan elite. Semua itu menunjukkan bahwa sistem yang adil bisa dibangun dari bawah.

Sudah saatnya kita kembali ke akar. Trisakti dan Pancasila bukanlah dokumen sejarah, melainkan visi masa depan. Ia harus hidup dalam sistem politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan hukum kita. Pembangunan bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pembangunan struktur yang adil, manusia yang utuh, dan martabat bangsa.

Kita harus berdiri di atas kaki sendiri, memimpin dengan hati nurani, dan membangun dengan akal sehat. Di tengah dunia yang semakin menekankan kepentingan nasional, kita tidak bisa terus menggantungkan diri pada globalisasi yang semakin rapuh. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu mengatur dirinya sendiri.

Kita memiliki segalanya: sumber daya alam, potensi manusia, dan warisan ideologi yang agung. Yang kita perlukan sekarang adalah satu hal—keberanian: keberanian untuk menjalankan nilai, keberanian untuk mengubah sistem, dan keberanian untuk membangun masa depan yang berpihak pada rakyat.

Dan jalan itu bernama Trisakti dan Pancasila. Kita tidak punya waktu untuk menunda. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *