**PRADANAMEDIA / JAKARTA — Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, menyambut baik langkah Indonesia dan Malaysia yang sepakat mengelola bersama wilayah Laut Ambalat melalui skema joint development. Menurutnya, kesepakatan ini merupakan pilihan yang rasional dan pragmatis di tengah belum terselesaikannya sengketa batas wilayah secara hukum.
“Kesepakatan ini mencerminkan pendekatan realistis dua negara. Namun tantangan sesungguhnya kini bukan pada aspek hukum internasional lagi, melainkan bagaimana memastikan pembagian manfaat ekonomi dilakukan secara adil,” ujar Hikmahanto kepada awak media, Minggu (29/6).

Kesepakatan eksplorasi dan eksploitasi bersama terhadap sumber daya alam di wilayah Ambalat ini disepakati oleh Presiden RI Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, sebagai terobosan atas kebuntuan diplomatik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Win-Win Solution di Tengah Sengketa
Hikmahanto menegaskan, penting bagi kedua negara untuk mengedepankan prinsip win-win solution dalam kerja sama ini. Menurutnya, keberhasilan skema pengelolaan bersama bergantung pada sejauh mana kedua negara mampu menyusun skema pembagian yang adil dan transparan.
“Jangan sampai ada pihak yang merasa dirugikan. Baik Indonesia maupun Malaysia harus duduk bersama membahas formula pembagian hasil yang seimbang. Bukan Indonesia lebih banyak, bukan Malaysia lebih dominan—tapi benar-benar adil,” tegasnya.
Jalan Tengah di antara Opsi Sulit
Lebih lanjut, Hikmahanto menjelaskan bahwa dalam konteks sengketa wilayah seperti Ambalat, terdapat tiga opsi klasik: membawa kasus ke Mahkamah Internasional, menggunakan kekuatan militer, atau membiarkan status quo. Namun ketiga opsi tersebut dinilai tidak ideal.
“Pengalaman pahit Indonesia saat kalah di Mahkamah Internasional dalam kasus Sipadan-Ligitan membuat opsi hukum kurang menarik. Apalagi penggunaan kekuatan militer jelas tidak rasional. Status quo pun hanya membuat potensi sumber daya alam terbengkalai,” urainya.
Oleh karena itu, ia memuji langkah Prabowo dan Anwar yang memilih jalan keempat: pengelolaan bersama.
“Lebih baik kita kelola bersama ketimbang membiarkan potensi ekonomi yang besar itu tidak termanfaatkan karena ketegangan diplomatik,” ujarnya.
Indonesia Punya Rekam Jejak
Skema joint development di wilayah sengketa bukan hal baru bagi Indonesia. Hikmahanto mengingatkan bahwa Indonesia pernah menjalin kerja sama serupa dengan Australia di kawasan Palung Timur atau Timor Gap, sebelum Timor Timur lepas dari Indonesia.
“Jadi kita sudah punya pengalaman. Artinya, skema seperti ini bukan hal asing dan bisa diterapkan kembali dengan pendekatan yang sesuai konteks,” kata Hikmahanto.
Menuju Diplomasi Maritim yang Berkeadilan
Kesepakatan pengelolaan bersama di wilayah Ambalat ini menjadi penanda penting bagi diplomasi maritim Indonesia yang berorientasi pada kerja sama, tanpa kehilangan kedaulatan. Tantangan ke depan bukan hanya soal eksplorasi, tapi membangun mekanisme yang bisa menjamin bahwa hasilnya benar-benar dirasakan kedua bangsa. (RH)
