Kebijakan Kontroversial: Penghentian PPDS Anestesi RSHS Dinilai Tak Bijak, Korban Utamanya Dunia Pendidikan dan Pasien

KESEHATAN NASIONAL

**PRADANAMEDIA/ JAKARTA – Keputusan Kementerian Kesehatan untuk menghentikan sementara program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI).

Ketua Umum PB IDI, Slamet Budiarto, menegaskan bahwa sanksi seharusnya diberikan secara personal, bukan institusional, karena permasalahan yang terjadi adalah ulah individu, bukan kesalahan sistem. “Masalah ini bersifat personal. Maka, sanksinya pun seharusnya ditujukan kepada pelaku, bukan seluruh program pendidikan,” ujarnya, Sabtu (12/4)

Slamet menilai, keputusan tersebut berisiko besar bagi kelangsungan pendidikan dokter spesialis serta pelayanan medis kepada masyarakat. “Kalau PPDS dihentikan, dampaknya justru dirasakan oleh masyarakat luas dan dunia pendidikan, bukan pelaku,” tegasnya.

Senada dengan IDI, Ketua Umum AIPKI Budi Santoso menilai keputusan Kemenkes itu reaktif dan tidak proporsional. Ia menekankan bahwa Indonesia tengah mengalami kekurangan dokter spesialis, dan penghentian program seperti ini akan semakin memperparah situasi.

“Ini bukan kali pertama Kemenkes mengambil langkah seperti ini. Sebelumnya, PPDS Anestesi di Universitas Diponegoro dan PPDS Ilmu Penyakit Dalam di Universitas Sam Ratulangi juga dihentikan. Langkah ini tidak menyelesaikan akar persoalan,” kata Budi.

Kasus yang memicu penghentian ini adalah dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Priguna Anugerah, dokter residen anestesi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, terhadap keluarga pasien di RSHS Bandung. Menyusul kasus tersebut, Kemenkes meminta Direktur RSUP RSHS untuk menghentikan sementara program PPDS Anestesi selama satu bulan guna dilakukan evaluasi bersama pihak Fakultas Kedokteran Unpad.

Namun, para pemangku kepentingan di bidang pendidikan kedokteran menekankan pentingnya objektivitas dan profesionalisme dalam menyikapi persoalan hukum yang melibatkan individu. “Kasus ini adalah kriminalitas yang dilakukan oleh satu orang. Maka, penyelesaiannya pun harus ditujukan kepada individu itu, bukan dengan menutup program pendidikan secara reaktif,” tutur Budi.

Pemerintah diharapkan mengambil kebijakan yang lebih bijaksana, adil, dan berpihak pada masa depan pendidikan kedokteran di Indonesia, tanpa mengorbankan sistem layanan kesehatan nasional. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *