**PRADANAMEDIA/ KABUL – Ibu kota Afghanistan, Kabul, kini berada di ujung tanduk sebagai kota modern pertama di dunia yang berpotensi mengalami kekeringan total dan kehilangan akses terhadap air bersih. Prediksi mengkhawatirkan ini diungkap dalam laporan terbaru lembaga kemanusiaan internasional Mercy Corps, seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (7/6).
Kondisi darurat ini dipicu oleh laju urbanisasi yang tak terkendali, perubahan iklim ekstrem, serta eksploitasi air tanah yang jauh melebihi kapasitas pengisian ulang alami. Saat ini, cadangan air di akuifer Kabul—lapisan batuan yang menyimpan air bawah tanah—tinggal 30 persen. Bahkan, lebih dari separuh sumur bor di kota tersebut telah mengering, padahal sumur bor merupakan sumber utama air minum bagi jutaan penduduk.

Menurut laporan Mercy Corps, ekstraksi air dari akuifer mencapai tingkat krisis, yakni melampaui 44 juta meter kubik per tahun, sementara proses pengisian ulang tidak mampu mengejar. Jika tren ini berlanjut, Kabul diprediksi akan benar-benar kehabisan air tanah paling cepat pada tahun 2030. Artinya, lebih dari 7 juta warga menghadapi ancaman kehilangan sumber kehidupan utama mereka.
“Tanpa air, tidak ada kehidupan. Krisis ini dapat memicu migrasi massal dan penderitaan yang lebih besar bagi rakyat Afghanistan,” ujar Dayne Curry, Direktur Mercy Corps Afghanistan. Ia juga menekankan pentingnya perhatian dunia internasional terhadap isu ini, yang selama ini terabaikan.
Krisis Berlapis: Pencemaran, Komersialisasi, dan Ketimpangan
Tak hanya mengalami kekeringan, Kabul juga menghadapi ancaman pencemaran air tanah yang parah. Sekitar 80 persen dari seluruh air tanah kota ini dinilai tidak aman untuk dikonsumsi karena tingginya kandungan limbah, salinitas, dan arsenik. Kondisi ini membuat akses air bersih menjadi perjuangan harian yang berat.
Di tengah kelangkaan, muncul pula praktik eksploitasi oleh sejumlah perusahaan swasta yang menggali sumur dalam jumlah besar, menyedot air tanah, dan menjualnya kembali ke masyarakat dengan harga tinggi.
“Kami dulu membayar 500 afghani (Rp116.000) setiap 10 hari. Sekarang jumlah air yang sama mencapai 1.000 afghani (Rp232.000),” keluh Nazifa, seorang guru di Khair Khana.
Pertumbuhan penduduk Kabul yang melonjak hingga tujuh kali lipat dalam beberapa dekade terakhir memperparah permintaan terhadap air. Sayangnya, tidak ada sistem tata kelola dan regulasi terpusat yang mampu mengendalikan penggunaan sumber daya air secara berkelanjutan.
Bantuan Tersendat, Solusi Jangka Panjang Terhambat
Setelah Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021, pendanaan internasional untuk sektor air dan sanitasi senilai 3 miliar dollar AS dibekukan. Bahkan, Amerika Serikat memangkas lebih dari 80 persen dana USAID untuk Afghanistan, mempersulit upaya penanganan krisis.
“Bantuan jangka pendek bisa menutupi kebutuhan sesaat, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah. Kita butuh investasi untuk solusi jangka panjang yang berkelanjutan,” ujar Curry.
Nazifa menambahkan bahwa air adalah hak dasar manusia dan sumber daya milik rakyat Afghanistan.
“Kami hidup dalam sistem militer yang tidak memberi ruang untuk menyuarakan penderitaan kami kepada pemerintah,” ujarnya lirih.
Proyek Panjshir: Harapan atau Sekadar Janji?
Sebagai respons, pemerintah Taliban tengah mendorong proyek ambisius berupa Pipa Sungai Panjshir, yang diharapkan mampu menyuplai air minum bagi dua juta penduduk Kabul dan mengurangi ketergantungan pada air tanah. Desain proyek ini telah rampung sejak akhir 2024, namun pelaksanaannya masih terganjal kebutuhan dana sebesar 170 juta dollar AS.
“Kami tidak bisa duduk diam menunggu dana cair. Kita berada dalam badai dan jika tidak bertindak sekarang, kita akan tenggelam,” tegas Najibullah Sadid, peneliti senior pengelolaan sumber daya air Afghanistan.(RH)
