Penulis: Sabine Kinkartz | DW Indonesia
**PRADANAMEDIA/ BERLIN, – Jerman, raksasa ekonomi Eropa, tengah menghadapi masa suram. Untuk dua tahun berturut-turut, negara ini resmi mengalami resesi—satu-satunya di antara negara anggota Uni Eropa. Tahun 2024 mencatat rekor buruk, dengan jumlah perusahaan gulung tikar setara dengan angka saat krisis keuangan global 2011.
Tekanan utama datang dari berbagai arah: harga energi yang melonjak, kelangkaan tenaga kerja terampil, populasi yang menua, dan birokrasi yang membelit. Sektor industri berbasis energi, salah satu tulang punggung perekonomian Jerman, terkena dampak paling parah.

Meski pemerintahan baru di Berlin menjanjikan pemulihan cepat dan berkelanjutan, Dewan Penasihat Ekonomi Jerman dalam laporan musim semi mereka menyatakan dengan tegas: tak ada pemulihan instan. Mereka menggambarkan kondisi saat ini sebagai “fase kelemahan struktural” dan memprediksi stagnasi ekonomi pada 2025, dengan kemungkinan pertumbuhan hanya 1% pada 2026.
Model Bisnis Usang dan Ketidakpastian Global
Keberhasilan lama Jerman yang mengandalkan produksi berteknologi tinggi dengan energi murah kini tak lagi relevan. Sejak invasi Rusia ke Ukraina dan terhentinya pasokan gas dari Moskow, biaya produksi melonjak. Ditambah lagi, kebijakan proteksionis seperti tarif dagang dari pemerintahan Donald Trump turut menghantam ekspor Jerman, memperparah lesunya aktivitas ekonomi.
Langkah Awal Pemerintah dan Tantangan Struktural
Menteri Ekonomi Jerman, Katherina Reiche, berjanji akan memperkenalkan langkah-langkah konkret, mulai dari pemangkasan pajak listrik hingga reformasi pasar tenaga kerja. Stimulus fiskal juga tengah disiapkan untuk mendongkrak pertumbuhan.
Namun, Dewan Ekonomi menegaskan bahwa pemerintah harus realistis. Tidak semua pekerjaan bisa diselamatkan, terutama yang tak punya prospek jangka panjang. Ketimbang menahan perubahan struktural dengan subsidi, pemerintah justru harus memfasilitasi transisi menuju model bisnis dan profesi baru yang lebih relevan dengan masa depan.
Harapan dari Investasi Infrastruktur
Koalisi pemerintah meluncurkan paket investasi senilai 500 miliar euro untuk 12 tahun ke depan. Dana ini ditujukan untuk memperbaiki infrastruktur dan mendorong transformasi ekonomi. Jika dikelola dengan tepat, investasi ini diyakini bisa membawa efek pertumbuhan positif yang besar.
Namun para pakar meragukan implementasinya. Mereka khawatir dana tersebut akan terserap oleh program-program populis seperti subsidi solar untuk petani, tunjangan pensiun, atau insentif restoran—alih-alih digunakan untuk modernisasi struktural. Dana ini pun berasal dari pinjaman, sehingga dikhawatirkan melampaui batas utang Uni Eropa.
Produktivitas Menurun, Penduduk Menua
Kanselir Friedrich Merz menyuarakan kekhawatiran bahwa budaya kerja empat hari seminggu tidak akan cukup untuk mempertahankan kemakmuran Jerman. Ia mendorong jam kerja fleksibel dan insentif bagi pensiunan untuk tetap aktif di dunia kerja.
Ekonom Veronika Grimm mendukung dorongan peningkatan partisipasi kerja, terutama perempuan. Tapi masalah klasik tetap mengemuka: minimnya tenaga pengasuh dan guru membuat perempuan kesulitan bekerja penuh waktu. Di tengah populasi yang menua, tekanan terhadap tenaga kerja kian besar.
Birokrasi, Penghambat Abadi
Salah satu keluhan utama pelaku usaha adalah lambannya proses perizinan dan beban administratif yang tinggi. Dewan Ekonomi mendesak percepatan digitalisasi birokrasi dan pembentukan sistem e-government yang seragam. Tanpa reformasi birokrasi yang nyata, program sebaik apa pun akan terhambat di meja administrasi.
Antara Harapan dan Kecemasan
Laporan Dewan Ekonomi menggarisbawahi satu hal: Jerman berada di persimpangan antara kemunduran dan kebangkitan. Komunitas bisnis bersiap mengambil peran, namun kini bola ada di tangan pemerintah.
Jika reformasi struktural benar-benar dijalankan dan investasi digunakan dengan tepat, Jerman masih punya peluang untuk kembali menjadi kekuatan ekonomi dunia. Jika tidak, negara ini bisa terjebak dalam era stagnasi panjang. (RH)
