**PRADANAMEDIA/ JAKARTA – Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, menyatakan bahwa hingga saat ini tidak terdapat pelanggaran konstitusional yang dapat dijadikan dasar untuk memakzulkan Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka. Pernyataan itu disampaikan menyusul munculnya usulan pemakzulan dari sejumlah pihak, termasuk Forum Purnawirawan TNI-Polri.
“Jadi, sampai saat ini, pintu pemakzulan secara konstitusional masih tertutup,” ujar Sarmuji, Rabu (7/5), dikutip dari Antara. Ia menegaskan bahwa Gibran terpilih secara sah dalam Pemilu 2024, dan didukung mayoritas rakyat Indonesia.

“Mas Gibran dipilih secara konstitusional oleh 58 persen rakyat Indonesia dan disahkan oleh Mahkamah Konstitusi,” lanjutnya.
Namun demikian, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan pakar hukum tata negara Mahfud MD menyatakan bahwa secara teori, proses pemakzulan terhadap wakil presiden tetap dimungkinkan jika memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Pasal tersebut menyebutkan enam alasan pemakzulan: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.
“Secara teoritis bisa. Tapi secara politik, sangat sulit dilakukan,” ujar Mahfud dalam kanal YouTube resminya.
Mahfud menjelaskan bahwa proses pemakzulan mensyaratkan adanya persetujuan dua pertiga anggota DPR dalam sidang paripurna. Dengan komposisi politik saat ini, di mana koalisi Prabowo-Gibran menguasai mayoritas kursi di parlemen, angka tersebut sulit dicapai.
“Bayangkan, dari 575 anggota DPR, harus ada sekitar 380 yang setuju untuk memakzulkan. Itu angka yang besar secara politik,” kata Mahfud, yang juga mantan Menkopolhukam.
Isu pemakzulan Gibran mencuat setelah Forum Purnawirawan TNI-Polri menyampaikan delapan poin pernyataan sikap, salah satunya mendesak MPR untuk mengganti Gibran dari jabatan wakil presiden. Forum ini terdiri dari ratusan purnawirawan jenderal, laksamana, marsekal, dan kolonel, termasuk nama-nama seperti Try Sutrisno, Fachrul Razi, dan Tyasno Soedarto.
Selain pemakzulan, forum ini juga menyoroti berbagai kebijakan pemerintah seperti proyek Ibu Kota Negara (IKN), keberadaan tenaga kerja asing, serta mendorong reshuffle menteri yang terindikasi korupsi.
Meski begitu, sejumlah tokoh dan organisasi, termasuk Golkar, Partai Demokrat, Muhammadiyah, dan MUI, telah menyatakan bahwa wacana pemakzulan tersebut tak berdasar secara hukum dan tidak mencerminkan kehendak publik secara luas. Narasi pemakzulan dinilai lebih bersifat politis ketimbang konstitusional. (RH)
