PRADANAMEDIA / EROPA – Selama bertahun-tahun, ornitolog Estonia, Leho Luigujoe, mengamati kawanan burung di lahan basah dekat Danau Vortsjarv. Namun, lanskap berumput yang dulu menjadi benteng terakhir bagi burung betet besar—spesies langka dengan paruh panjang dan nyanyian kawin khas—kini lenyap.
Padang rumput itu berubah menjadi barisan rapi pohon birch dan cemara yang ditanam di atas rawa. Perlahan, ekosistem terbuka berganti menjadi hutan, dan burung-burung pun terdiam.

Ironinya, pohon-pohon tersebut ditanam bukan demi pelestarian alam, melainkan sebagai bagian dari proyek kredit karbon. Program itu sejatinya ditujukan mengimbangi emisi bahan bakar fosil dengan menyerap karbon dari atmosfer. Namun, justru mengorbankan habitat alami yang berharga.
Bagaimana Skema Kredit Karbon Bekerja?
Prinsipnya sederhana: untuk setiap ton karbon dioksida yang dilepas ke udara, perusahaan dapat membeli kredit penghapusan dengan mendanai proyek pengurangan emisi dalam jumlah setara di tempat lain.
Contoh proyeknya antara lain mengubah limbah organik menjadi biochar atau menggunakan teknologi penyerapan langsung gas rumah kaca (GRK). Harga kredit semacam ini bisa mencapai 100–1.000 dolar AS per ton. Opsi lebih murah adalah membeli kredit yang mencegah emisi lebih lanjut, seperti melindungi hutan dari penebangan, yang biasanya hanya dihargai 5–10 dolar per ton.
Ada dua pasar utama: wajib (seperti Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa/ETS yang diawasi ketat), dan sukarela, yang lebih longgar dan kerap dimanfaatkan perusahaan demi pencitraan atau memenuhi standar ESG.
Pasar sukarela ini nilainya sudah mencapai 2 miliar dolar AS pada 2023, tetapi nyaris tanpa aturan global yang seragam.
Kritik: “Kartu Bebas Penjara” bagi Perusahaan
Siim Kuresoo dari FERN, LSM kebijakan hutan di Brussel, menyebut kompensasi berbasis hutan ibarat “kartu bebas penjara ala Monopoli” bagi perusahaan yang enggan mengurangi emisi mereka sendiri.
Hal senada disampaikan Nerijus Zableckis dari Lithuania Foundation for Peatlands Restoration and Conservation, yang menilai banyak pemain di pasar kredit karbon hanyalah spekulan dan penipu.
Bahkan Jonathan Crook dari Carbon Market Watch mengungkapkan, pasar sukarela sering dipenuhi aktor jahat yang disebut “koboi karbon”. Ia menekankan perlunya regulasi lebih ketat karena banyak perusahaan hanya membeli kredit untuk mengklaim netralitas karbon, tanpa benar-benar memangkas emisi.
Sebuah meta-studi yang dipublikasikan di Nature Communications (2023) bahkan menemukan, hanya 16 persen kredit karbon yang benar-benar menghasilkan pengurangan emisi nyata.
Pemain Baru dan Koreksi Raksasa Teknologi
Meski demikian, tidak semua proyek karbon bermasalah. Startup Arbonics di Estonia mencoba memperbaiki praktik dengan seleksi ketat berbasis data satelit, memastikan proyek tak merusak lahan basah atau hutan yang sudah ada.
Sementara itu, Microsoft juga melakukan koreksi setelah mendapat kritik keras pada 2022. Perusahaan itu mengakui banyak kredit yang mereka beli terbukti nihil manfaat. Kini Microsoft beralih pada proyek karbon berkualitas tinggi, seperti biochar dari Carbofex di Finlandia, yang bisa menyimpan karbon di tanah selama berabad-abad.
Harga kredit ini jauh lebih mahal, 100–200 dolar AS per ton, tetapi dianggap lebih andal dan tahan lama.
Jalan ke Depan: Dari Greenwashing ke Solusi Nyata
Pada awal 2024, Uni Eropa menyetujui kerangka baru sertifikasi penghapusan karbon, dengan penekanan pada dasar ilmiah, verifikasi independen, dan transparansi. Tujuannya jelas: menghentikan praktik greenwashing dan mendukung proyek yang benar-benar memberi manfaat iklim.
Di Estonia sendiri, otoritas lingkungan akhirnya turun tangan. Perusahaan diwajibkan mencabut 120.000 bibit pohon yang sudah terlanjur ditanam dan mengembalikan lahan basah ke kondisi semula.
Dengan begitu, padang rumput terbuka berpeluang pulih kembali. Dan di saat senja, burung betet besar mungkin akan kembali mengepakkan sayapnya, menari di bawah langit luas belahan Bumi utara. (RH)
