**PRADANAMEDIA / TEHERAN – Iran telah mengonfirmasi akan menggelar putaran baru pembicaraan terkait program nuklirnya bersama tiga negara Eropa (E3), yakni Inggris, Perancis, dan Jerman, di Istanbul pada Jumat, 25 Juli 2025. Ini akan menjadi dialog pertama sejak serangan militer Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran sebulan silam.
Seperti dilaporkan AFP pada Senin (21/7), pertemuan ini berlangsung setelah ketiga negara Eropa tersebut memperingatkan kemungkinan diberlakukannya kembali sanksi internasional terhadap Teheran apabila tidak menunjukkan komitmen serius terhadap perundingan.

“Iran telah menyetujui untuk mengadakan dialog baru sebagai respons atas permintaan negara-negara Eropa,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmail Baghai, melalui siaran televisi nasional.
Isu utama dalam pertemuan tersebut adalah masa depan program nuklir Iran, yang terus menjadi sorotan Barat dan Israel. Keduanya menuduh Iran berupaya mengembangkan senjata nuklir, tuduhan yang berulang kali dibantah oleh Teheran.
Seorang diplomat Jerman menegaskan kepada AFP bahwa E3 tetap berkomitmen untuk mencegah Iran memiliki senjata nuklir. “Itulah sebabnya kami terus mengupayakan solusi diplomatik yang dapat diverifikasi dan berkelanjutan melalui jalur E3,” katanya.
Ketegangan meningkat setelah pada 13 Juni lalu, Israel melancarkan serangan udara mendadak ke fasilitas militer dan nuklir utama Iran. Serangan itu disusul oleh Amerika Serikat pada 22 Juni, yang menyasar pusat-pusat pengayaan uranium di Fordo, Isfahan, dan Natanz.
Sebelumnya, kesepakatan nuklir 2015 yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) sempat membatasi aktivitas nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi. Namun, kesepakatan itu mulai goyah sejak AS keluar dari perjanjian pada 2018 di bawah Presiden Donald Trump dan kembali menjatuhkan sanksi kepada Iran. Kini, E3 mengancam akan mengaktifkan mekanisme snapback, yang memungkinkan kembalinya sanksi jika Iran tidak mematuhi perjanjian.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengecam rencana snapback tersebut. “Barat tidak memiliki legitimasi moral maupun hukum untuk memaksakan kembali sanksi,” ujarnya, mengkritik dukungan Eropa terhadap aksi militer AS dan Israel. Ia menambahkan, Iran tetap membuka pintu bagi diplomasi bermakna yang dilandasi itikad baik, tetapi tak akan tunduk pada tekanan.
Sikap keras juga disampaikan oleh Ali Velayati, penasihat Pemimpin Tertinggi Iran, yang menegaskan bahwa Iran tidak akan memulai pembicaraan dengan AS jika syaratnya mencakup penghentian aktivitas pengayaan uranium.
Sementara itu, dukungan datang dari Rusia. Presiden Vladimir Putin mengadakan pertemuan mendadak di Kremlin dengan Ali Larijani, penasihat utama Ayatollah Ali Khamenei. Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan bahwa pertemuan tersebut membahas ketegangan di Timur Tengah serta posisi Rusia dalam menyokong penyelesaian diplomatik terkait program nuklir Iran. Meski Moskwa tak secara terbuka membela Teheran, hubungan strategis dan politik antara kedua negara tetap kuat.
Dengan konstelasi global yang kian tegang, pertemuan di Istanbul menjadi ujian serius arah masa depan diplomasi nuklir dunia. Di satu sisi, ancaman sanksi menghantui Iran, dan di sisi lain, dukungan dari Rusia menjadi sandaran geopolitik baru bagi Teheran. (RH)
