Idul Adha dan Politik Kebajikan: Saatnya Berkurban demi Bangsa

OPINI PUBLIK

OLEH: WT. Daniealdi Dosen UNIKOM Bandung Pemerhati masalah politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan internasional. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.

**PRADANAMEDIA/ Setiap kali Hari Raya Idul Adha tiba, umat Islam kembali disuguhi kisah abadi tentang keikhlasan Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS, dalam menaati perintah Tuhan. Peristiwa ini bukan sekadar ritual penyembelihan hewan kurban, melainkan juga momentum spiritual yang menyimpan pesan transendental dan sosial yang mendalam. Lebih dari itu, Idul Adha adalah panggilan untuk refleksi, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks politik, kurban dapat dimaknai sebagai kesediaan untuk melepas ego, menundukkan ambisi pribadi, dan mengedepankan kepentingan bersama. Sayangnya, dalam praktik politik kita hari ini, semangat ini kian langka. Politik lebih sering dipahami sebagai arena perebutan kekuasaan ketimbang seni menata masyarakat menuju kebahagiaan bersama.

Politik sebagai Jalan Menuju Kebajikan

Dalam tradisi filsafat Islam, politik tidaklah tercerabut dari nilai-nilai moral dan spiritual. Filsuf besar Abu Nashr Al-Farabi dalam karyanya Al-Madinah Al-Fadhilah menekankan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri; mereka harus bekerja sama dalam asosiasi sosial demi meraih kesempurnaan hidup. Bagi Al-Farabi, kota ideal (Kota Utama) adalah komunitas yang dibentuk atas dasar tolong-menolong untuk mencapai kebahagiaan sejati. Pemimpin dalam komunitas ini bukan sekadar penguasa, tetapi sosok yang memiliki kecerdasan intelektual dan kematangan spiritual—mereka yang mampu membimbing dengan adil dan menyatukan masyarakat.

Pandangan ini bukan utopia belaka. Al-Farabi tidak sedang berkhayal, melainkan menawarkan arah moral bagi politik: bahwa ia seharusnya tumbuh dari akar spiritualitas dan kebajikan, bukan dari nafsu kekuasaan.

Kurban: Jalan Menuju Jiwa Sosial yang Dewasa

Makna kurban dalam Idul Adha jauh melampaui simbolik penyembelihan hewan. Ia adalah latihan spiritual untuk melepaskan keterikatan terhadap dunia demi nilai-nilai ilahiah. Seperti dijelaskan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah, bagi para sufi, kurban adalah proses pembersihan jiwa dari egoisme, agar manusia mampu menampung cinta kasih dan kemurahan Tuhan.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang yang murah hati dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka.” Artinya, kerelaan memberi dan berkorban adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus memperkuat solidaritas sosial.

Dalam tafsir sufistik, orang yang rela melepaskan sesuatu yang ia cintai demi kebaikan bersama sedang menghidupkan sisi ilahiah dalam dirinya. Seperti tercermin dalam QS Al-Hijr: 29 dan Shad: 72, ruh adalah bagian dari hakikat manusia yang bersumber dari Tuhan. Maka, kurban adalah jalan menuju kemanusiaan yang luhur dan peradaban yang berbasis kasih.

Refleksi untuk Politik Indonesia

Dalam konteks politik Indonesia hari ini—yang sedang memasuki masa transisi pasca-Pemilu dan pemerintahan baru yang baru berjalan beberapa bulan—semangat berkurban menjadi relevan dan mendesak untuk dihidupkan kembali. Energi politik masih panas, polarisasi belum sepenuhnya reda. Inilah saatnya kita bertanya: sanggupkah kita mengorbankan ego demi kepentingan bangsa?

Kita perlu ingat, mereka yang berbeda pilihan politik bukanlah musuh. Mereka juga mencintai negeri ini, meskipun dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Pertarungan politik sudah selesai, tapi pengabdian untuk bangsa belum usai. Kini saatnya membuktikan bahwa cinta tanah air tidak harus ditunjukkan dengan kemenangan, tetapi dengan kontribusi nyata.

Etika Terima Kasih sebagai Fondasi Bangsa

Idul Adha juga mengajarkan pentingnya kerendahan hati dan rasa syukur. Dari dua kualitas ini lahir sikap saling menghargai dan bekerja sama. Masyarakat yang maju dibentuk bukan oleh individu yang egoistik, tetapi oleh komunitas yang saling berterima kasih.

Presiden yang memimpin dengan tulus, pengusaha yang membuka lapangan kerja, guru yang mengajar dengan ikhlas, buruh yang bekerja untuk keluarganya, dokter yang setia merawat pasien—mereka semua bergerak karena menyadari bahwa hidup ini adalah kolaborasi, bukan kompetisi.

Rasa terima kasih yang tulus adalah etos sosial yang menyatukan bangsa. Dalam masyarakat yang sehat, etika ini bukan basa-basi, tetapi fondasi kepercayaan dan kerja sama.

Kurban sebagai Etika Politik

Maka, memaknai kurban secara politis berarti memiliki keberanian untuk menahan ambisi pribadi demi keutuhan bersama. Ini adalah spiritualitas politik: menjadikan kekuasaan bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai amanah. Dalam realitas Indonesia yang plural, kita mungkin belum bisa mewujudkan Madinah Al-Fadhilah, tetapi kita bisa mulai membentuk “kampung-kampung utama”—ruang-ruang sosial yang dijiwai semangat gotong royong, kasih sayang, dan ketulusan.

Idul Adha adalah momentum reflektif: sudahkah para pemimpin kita belajar berkurban? Sudahkah kita semua, sebagai rakyat, bersedia menundukkan ego dan menyambut sesama dengan semangat berterima kasih?

Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang hanya merayakan Idul Adha secara ritual, tetapi bangsa yang menjadikannya jalan menuju kematangan sosial dan kebijaksanaan politik. (RH)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *