
Jakarta – Permasalahan tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) yang selama lima tahun belum dibayarkan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) tengah menjadi sorotan publik. Isu ini memicu berbagai reaksi, mulai dari protes melalui media sosial hingga aksi demonstrasi dan pengiriman karangan bunga ke kantor Kemendikti Saintek sebagai bentuk kekecewaan.
Menurut Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair), Prof. Jusuf Irianto, kendala utama dalam pembayaran tukin ini adalah persoalan legal formal dan proses birokrasi yang memerlukan kehati-hatian. “Ini adalah persoalan yang harus diselesaikan secara bijaksana agar sesuai dengan peraturan yang berlaku,” ujar Prof. Jusuf pada Jumat (24/1).
Meski begitu, titik terang mulai terlihat. Kemendikti Saintek bersama Komisi X DPR RI telah menyepakati alokasi anggaran sebesar Rp 2,5 triliun untuk membayar tunggakan tukin dosen ASN. Anggaran tersebut telah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan. Berdasarkan Keputusan Mendikbud Ristek No. 447/P/2024, pembayaran tunjangan kinerja ini akan dimulai pada awal 2025, dengan total penerima sebanyak 33.957 dosen ASN.
Dosen dengan jabatan fungsional tertentu akan menerima tukin sesuai dengan kelas jabatannya. Besaran tunjangan yang akan diterima antara lain:
- Asisten ahli (kelas jabatan 9): Rp 5 juta per bulan
- Lektor: Rp 8,7 juta per bulan
- Lektor kepala: Rp 10,9 juta per bulan
- Guru besar atau profesor: Rp 19,2 juta per bulan
Namun, Prof. Jusuf juga menyoroti dampak perubahan nomenklatur di kementerian yang memperumit proses penggajian dan tunjangan dosen. Ia menyebut bahwa peraturan yang diterbitkan oleh Mendikbud sebelumnya, Nadiem Makarim, tidak diikuti dengan Peraturan Presiden (Perpres), sehingga anggaran tukin tidak dapat dialokasikan. “Perbedaan nomenklatur inilah yang menimbulkan keruwetan dalam pembayaran tukin. Akibatnya, pembayaran terhambat sejak lima tahun lalu,” jelasnya.
Mekanisme pembayaran tukin sebenarnya telah diatur dalam UU No. 15 Tahun 2014 tentang ASN, dan didukung oleh Permenpan RB No. 6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai ASN. Meski demikian, Prof. Jusuf menegaskan perlunya penerbitan Perpres sebagai dasar hukum kuat untuk alokasi anggaran dan pencairan tukin. “Selain itu, dokumen petunjuk teknis (juknis) juga diperlukan agar proses pencairan dapat berjalan lancar,” tambahnya.
Dengan adanya langkah konkret ini, para dosen ASN kini memiliki harapan bahwa hak mereka akan segera terpenuhi, sekaligus menutup babak panjang permasalahan tukin yang telah menjadi keluhan selama bertahun-tahun. (KN)
