**PRADANAMEDIA / PARIS – Langkah diplomatik bersejarah tengah mengemuka di panggung internasional. Tiga negara besar—Prancis, Inggris, dan Kanada—yang selama ini cenderung berhati-hati dalam menyikapi pendudukan Israel di Gaza, kini memberi sinyal kuat akan mengakui Palestina sebagai negara merdeka.
Pengakuan resmi ini diperkirakan akan diumumkan pada Sidang Umum PBB di New York, September mendatang. Portugal pun menyatakan bergabung dalam barisan negara yang tengah mengevaluasi ulang kebijakannya terkait isu Palestina dan siap memulai proses pengakuan. “Banyak negara yang berkoordinasi dengan Portugal telah menyatakan kesediaannya memulai langkah ini,” demikian pernyataan resmi pemerintah Portugal.

Latar Belakang dan Tekanan Kemanusiaan
Perubahan sikap ini mencuat di tengah memburuknya kondisi kemanusiaan di Gaza, yang telah 22 bulan dilanda perang sejak 7 Oktober 2023. Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam suratnya kepada Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menegaskan, “Situasi di Gaza sangat mengerikan. Kami tidak bisa tinggal diam.”
Inggris melalui Perdana Menteri Keir Starmer menegaskan, pengakuan akan diberikan jika Israel gagal menunjukkan komitmen pada gencatan senjata dan solusi dua negara. Sementara Kanada menekankan bahwa solusi dua negara adalah “satu-satunya peta jalan” menuju perdamaian, seraya meminta Otoritas Palestina menggelar pemilu pada 2026 tanpa keikutsertaan Hamas.
Menurut data otoritas kesehatan Gaza, setidaknya 60.000 warga Palestina telah tewas akibat operasi militer Israel. Sementara korban kelaparan dan malnutrisi—sebagian besar anak-anak—telah mencapai 154 jiwa. Mantan Menlu Prancis Hubert Védrine menyebut, “Tidak bertindak di tengah tragedi ini akan terasa tidak bermoral.”
Pergeseran Besar di Barat
Lebih dari 145 negara di dunia telah mengakui Palestina. Namun, langkah dari tiga negara anggota G7 ini menandai pergeseran geopolitik signifikan. Jika terwujud, maka empat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB—Prancis, Inggris, Rusia, dan China—akan bersuara satu untuk Palestina, meninggalkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya pengecualian.
Mouin Rabbani, peneliti senior Middle East Council on Global Affairs, menggambarkan langkah ini seperti “bendungan yang jebol” dan berpotensi memicu gelombang pengakuan baru di dunia.
Di Inggris, tekanan publik semakin kuat. Survei YouGov terbaru menunjukkan 45 persen warga mendukung pengakuan Palestina, sementara hanya 14 persen yang menolak. Lebih dari 200 anggota parlemen lintas partai mendesak langkah tersebut, yang juga dianggap sebagai tanggung jawab moral Inggris atas warisan Deklarasi Balfour 1917.
Bagi Prancis, pengakuan Palestina dinilai sebagai “jendela peluang politik” di tengah memudarnya pengaruh Amerika Serikat di kawasan, kata Adel Bakawan dari Institut Prancis untuk Urusan Internasional dan Strategis. Namun, Rabbani menilai langkah ini masih sebatas “opsi murah” secara politik untuk menenangkan publik, tanpa memberi tekanan nyata seperti sanksi kepada Israel.
Reaksi Keras dan Dukungan
Israel dan Amerika Serikat merespons keras. PM Israel Benjamin Netanyahu menyebut pengakuan Palestina sebagai “penghargaan bagi Hamas” dan “hukuman bagi para korban.” Menlu AS Marco Rubio menilainya sebagai “keputusan sembrono” yang menguntungkan propaganda Hamas.
Presiden AS Donald Trump bahkan menyebut langkah Prancis “tidak berbobot” dan rencana Inggris “berbahaya.”
Sebaliknya, Menlu Jerman Thomas Wadephul menyatakan Israel kini “semakin terisolasi” dan mendesak tindakan segera atas krisis kemanusiaan Gaza yang “tak terbayangkan.” (RH)
