**PRADANAMEDIA / JAKARTA – Penasihat Khusus Presiden Bidang Pertahanan Nasional sekaligus mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal (Purn) TNI Dudung Abdurachman, menegaskan agar 20 prajurit yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo tidak hanya dijatuhi sanksi pemecatan dari dinas militer. Ia menilai, seluruh tersangka juga harus bertanggung jawab secara hukum pidana.
“Sanksinya sudah pasti tegas. Yang terlibat langsung pasti dipecat. Tetapi bukan berarti selesai di situ. Mereka tetap harus menjalani hukuman pidana. Tidak bisa setelah dipecat lalu bebas begitu saja,” ujar Dudung saat ditemui di Istana Negara, Jakarta, Minggu (17/8).

Perketat Pengawasan Prajurit Baru
Dudung juga mendorong pimpinan TNI untuk memperketat pengawasan terhadap prajurit, terutama dalam masa orientasi dan pembinaan awal. Menurutnya, pengawasan dari tingkat komandan regu, komandan peleton, hingga komandan kompi harus dilakukan lebih intensif.
“Pengetatan harus dilakukan dalam pengawasan. Para komandan jangan hanya mengawasi di atas kertas, tapi harus turun langsung ke lapangan setiap kali ada kegiatan orientasi prajurit baru. Itu wajib dilakukan secara ketat,” tegasnya.
Awal Mula Kasus Kematian Prada Lucky
Kasus tewasnya Prada Lucky berawal dari kegiatan pembinaan prajurit di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, menjelaskan bahwa peristiwa tersebut bermula dari aktivitas pembinaan yang seharusnya bersifat positif, namun justru berujung tragis.
“Motifnya sudah kami sampaikan, yaitu dalam rangka pembinaan. Namun, yang kita sesalkan, dalam praktiknya justru terjadi penyimpangan sehingga menimbulkan korban jiwa,” ujar Wahyu saat konferensi pers di Mabes AD, Jakarta, Senin (11/8/2025).
Wahyu menambahkan, sejumlah prajurit lain juga pernah mengalami perlakuan serupa, meski hanya Prada Lucky yang kehilangan nyawa. Saat ini, penyidik tengah mendalami peran masing-masing tersangka. Nantinya, pasal yang dijerat tidak akan sama, melainkan disesuaikan dengan tingkat keterlibatan tiap individu.
“Proses pemeriksaan masih berjalan. Kita perlu mendalami lebih jauh agar jelas siapa melakukan apa, dan pasal mana yang tepat dikenakan,” imbuh Wahyu.
Dorongan Akuntabilitas dan Reformasi Internal
Kasus ini menambah daftar panjang insiden pelanggaran disiplin di lingkungan militer yang berujung pada korban jiwa. Publik menuntut adanya akuntabilitas dan reformasi internal yang nyata agar kejadian serupa tidak kembali terulang.
Dudung pun menegaskan, selain sanksi pidana, TNI harus menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk memperbaiki sistem pembinaan dan budaya pengawasan di tubuh militer. “Ini pelajaran penting. Jangan sampai ada lagi korban dalam proses yang seharusnya membentuk prajurit yang disiplin dan tangguh,” pungkasnya. (RH)
