PRADANAMEDIA / JAKARTA – Hakim nonaktif Djuyamto mengungkapkan bahwa sejumlah hakim senior di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disebut-sebut sempat meminta agar dilibatkan dalam pemeriksaan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor kepada tiga perusahaan crude palm oil (CPO).
Pengakuan tersebut disampaikan Djuyamto ketika bersaksi sebagai saksi mahkota dalam sidang kasus dugaan suap terhadap majelis hakim yang menjatuhkan vonis ontslag (lepas dari tuntutan hukum) kepada tiga korporasi besar di sektor kelapa sawit.
“Pada saat pertemuan itu, apakah ada penyampaian dari Muhammad Arif Nuryanta terkait perkara ini yang banyak diminta oleh hakim senior?” tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Djuyamto dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (15/10).

Djuyamto membenarkan bahwa dalam pertemuannya dengan Arif Nuryanta—yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat—pada 22 Maret 2024, hal tersebut memang disinggung.
“Beliau sempat menyampaikan bahwa perkara ini diminta oleh beberapa hakim senior,” ujar Djuyamto di hadapan majelis hakim.
Pertemuan itu berlangsung pada pagi hari. Beberapa jam kemudian, pada sore harinya, Arif mengumumkan penunjukan Djuyamto sebagai ketua majelis hakim yang akan memeriksa perkara ekspor CPO tersebut.
Kepada jaksa, Djuyamto menjelaskan bahwa penunjukan dirinya sebagai ketua majelis murni merupakan keputusan subjektif dari Arif Nuryanta sebagai pimpinan pengadilan. “Beliau hanya menanyakan dua hal, apakah saya pernah menangani perkara korporasi, dan bagaimana beban perkara saya saat itu,” kata Djuyamto menambahkan.
Namun, Djuyamto mengaku sempat mempertanyakan pernyataan Arif yang menyebut adanya “permintaan dari hakim senior” untuk menangani perkara tersebut. “Saya spontan bertanya, ‘Perkara ini sebenarnya dari siapa, Pak Wakil Ketua?’” ungkapnya.
Arif disebut hanya menunjuk ke arah atas, yang oleh Djuyamto ditafsirkan sebagai sinyal bahwa perkara ini mendapat perhatian khusus dari pimpinan lembaga peradilan.
Suap Rp 40 Miliar untuk Vonis Lepas Tiga Korporasi Sawit
Kasus ini bermula dari dugaan suap terhadap majelis hakim dalam perkara pemberian fasilitas ekspor kepada tiga perusahaan besar, yakni Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Jaksa mendakwa lima orang pejabat pengadilan yang diduga menerima uang suap dengan total mencapai Rp 40 miliar.
Rinciannya:
- Mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta menerima sekitar Rp 15,7 miliar.
- Panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan menerima Rp 2,4 miliar.
- Ketua majelis hakim Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar.
- Dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Atas uang suap tersebut, majelis hakim yang dipimpin Djuyamto memutus vonis lepas terhadap ketiga korporasi raksasa sawit tersebut.
Sementara itu, Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan berperan dalam proses negosiasi dan upaya memengaruhi majelis hakim agar putusan sesuai dengan keinginan pihak korporasi.
Kasus ini memperlihatkan bahwa praktik suap di lembaga peradilan belum sepenuhnya dapat diberantas, bahkan melibatkan hakim-hakim dengan reputasi panjang. Fakta bahwa perkara tersebut “diperebutkan” oleh sejumlah hakim senior menunjukkan masih adanya daya tarik ekonomi di balik perkara besar yang melibatkan korporasi.
Publik kini menanti ketegasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam menindak para pelaku agar kepercayaan terhadap lembaga peradilan dapat pulih. (RH)


 
	 
						 
						