Palangka Raya – Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) akhirnya memberikan klarifikasi terkait informasi yang menyebutkan luas lahan kritis di wilayahnya mencapai 811 ribu hektare. Sebelumnya, beredar kabar bahwa pihak Dinas Kehutanan enggan menanggapi isu ini. Namun, mereka menegaskan tetap menjalankan tugas sesuai kewenangan yang telah diatur dalam regulasi.
Kepala Dinas Kehutanan Kalteng, Agustan Saining, melalui Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Ansar, menjelaskan bahwa penetapan status lahan kritis merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bukan Dinas Kehutanan daerah.
Menurut data terbaru dari KLHK yang dirilis pada 27 Desember 2022, luas lahan kritis di Kalteng mencapai 818 ribu hektare dari total 15,3 juta hektare lahan. Sebagian besar (92,16%) berada di kawasan hutan, sementara sisanya (7,84%) berada di luar kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL), termasuk permukiman dan perkebunan.
Beberapa faktor utama penyebab lahan kritis di Kalteng adalah alih fungsi lahan, pembukaan lahan untuk pertanian dan industri, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Untuk mengatasi hal ini, Dinas Kehutanan bersama KLHK telah menerapkan berbagai langkah strategis, seperti:
- Mewajibkan perusahaan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk melakukan rehabilitasi dengan skema 1:1.
- Membangun Persemaian Permanen di Jl. Hiu Putih untuk menyediakan bibit produktif bagi masyarakat.
- Melakukan penghijauan berbasis permohonan dengan jaminan bahwa lahan tidak dialihfungsikan selama minimal 15 tahun.
- Mengembangkan sumber benih unggul, seperti meranti di Katingan dan ulin di Murung Raya, guna mempercepat rehabilitasi.
Meski upaya terus dilakukan, penghijauan di luar kawasan hutan menghadapi kendala, terutama terkait status kepemilikan lahan. Dinas Kehutanan tidak bisa melakukan penghijauan tanpa izin pemilik lahan. Selain itu, banyak pemilik lahan yang lebih memilih menanam tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa sawit daripada tanaman kehutanan yang membutuhkan waktu lama untuk tumbuh.
“Kami memahami bahwa masyarakat ingin mendapatkan manfaat ekonomi dari lahannya. Namun, kami terus mengedukasi agar penghijauan juga bisa memberikan manfaat jangka panjang,” ujar Ansar.
Dinas Kehutanan menegaskan bahwa mereka tetap bekerja sesuai kewenangan dan terbuka untuk berdiskusi mengenai isu lahan kritis. Mereka juga mengajak semua pihak, termasuk masyarakat dan dunia usaha, untuk bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan.
“Penyelesaian masalah lahan kritis tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat dan dunia usaha,” tutupnya. (KN)

