**PRADANAMEDIA/ JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat investasi fiktif yang dilakukan PT Taspen (Persero) mencapai Rp 1 triliun. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan estimasi awal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memperkirakan kerugian sekitar Rp 200 miliar.
BPK menyerahkan hasil perhitungan kerugian tersebut kepada KPK pada Senin (28/4). “Kerugian kasus ini adalah sebesar Rp 1 triliun,” ujar Direktur Jenderal Pemeriksaan Investigasi BPK, I Nyoman Wara, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

Nyoman Wara menjelaskan bahwa hasil pemeriksaan BPK menemukan adanya penyimpangan anggaran yang mengindikasikan tindak pidana, sehingga menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar.
Sementara itu, KPK memastikan bahwa penanganan perkara investasi fiktif PT Taspen hampir tuntas dan segera dilimpahkan ke tahap penuntutan. “Penanganan perkara PT Taspen pada tahap penyidikan ini sudah hampir selesai, tinggal kami limpahkan ke penuntutan dan dalam waktu dekat akan masuk persidangan,” kata Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu.
Perjalanan Kasus PT Taspen
Kasus ini bermula pada Juli 2016, ketika PT Taspen melakukan investasi dalam bentuk pembelian Sukuk Ijarah TSP Food II (SIAISA02) senilai Rp 200 miliar, yang diterbitkan oleh PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (TPSF). Namun, dua tahun kemudian, pada Juli 2018, diketahui bahwa Sukuk tersebut mengalami gagal bayar dan dinyatakan tidak layak diperdagangkan.
Pada Januari 2019, Antonius NS Kosasih menjabat sebagai Direktur Investasi PT Taspen. Tidak lama kemudian, pada Mei 2019, terjadi pertemuan antara Antonius dan Ekiawan Heri Primaryanto, Direktur Utama PT Insight Investment Management (PT IIM), untuk membahas optimalisasi Sukuk TSP Food II yang saat itu tengah dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga.
Pada 20 Mei 2019, Komite Investasi PT IIM memasukkan Sukuk SIAISA02 ke dalam daftar portofolio investasi (bond universe) untuk produk reksa dana Insight Tunas Bangsa Balanced Fund 2 (I-Next G2). Padahal, saat itu Sukuk tersebut sudah mendapat peringkat Id D (default/gagal bayar) dan masuk kategori Non-Investment Grade yang seharusnya tidak layak investasi.
Menurut KPK, Antonius Kosasih seharusnya tidak menempatkan dana sebesar Rp 1 triliun ke RD I-Next G2 yang dikelola PT IIM. Pasalnya, berdasarkan ketentuan internal PT Taspen, aset bermasalah semacam itu seharusnya ditahan atau dijual dengan strategi Hold and Average Down, bukan diinvestasikan lebih lanjut.
Penempatan dana tersebut, menurut KPK, melanggar hukum dan diduga menguntungkan pihak-pihak tertentu, termasuk Antonius Kosasih dan Ekiawan Heri Primaryanto. Sejumlah korporasi juga disebut menerima keuntungan dari investasi bermasalah ini, seperti PT IIM sebesar Rp 78 miliar, PT VSI sebesar Rp 2,2 miliar, PT PS sebesar Rp 102 juta, dan PT SM sebesar Rp 44 juta.
“Ini melibatkan pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan para tersangka ANSK (Antonius) dan EHP (Ekiawan),” jelas Asep Guntur.
Dengan hasil kalkulasi kerugian negara dari BPK yang kini resmi, KPK menegaskan bahwa berkas penyidikan kasus ini hampir rampung dan akan segera dibawa ke meja hijau.
Kasus PT Taspen menjadi sorotan luas karena melibatkan dana pensiun yang seharusnya menjadi jaminan hari tua para pegawai. Skandal ini juga menunjukkan pentingnya pengawasan ketat terhadap pengelolaan investasi BUMN, khususnya perusahaan yang mengelola dana publik. Publik kini menanti proses hukum yang transparan dan akuntabel agar kerugian negara bisa dipulihkan dan pelaku diberi sanksi setimpal. (RH)
