PRADANAMEDIA / MOSKWA — Rusia tengah menghadapi krisis tenaga kerja serius yang berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun ke depan. Untuk menjaga stabilitas dan mencapai target pertumbuhan minimal 3,2 persen per tahun hingga 2030, negara itu perlu menarik jutaan pekerja migran terampil dari luar negeri.
Hal tersebut disampaikan CEO Sberbank, German Gref — yang juga dikenal sebagai sekutu dekat Presiden Vladimir Putin — dalam rapat Dewan Negara mengenai Kebijakan Demografi dan Keluarga, Jumat (24/10), sebagaimana dilansir Reuters.

Menurut Gref, Rusia tak akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan sosial tanpa pertumbuhan ekonomi yang memadai. “Kita harus tumbuh setidaknya seiring rata-rata global, yakni minimal 3,2 persen per tahun. Tanpa pertumbuhan, kita tidak akan dapat mengatasi masalah sosial maupun ekonomi,” ujarnya.
Sejak pecahnya perang di Ukraina, Rusia kehilangan ratusan ribu tenaga kerja produktif yang bergabung ke militer. Kondisi ini diperparah oleh melonjaknya gaji akibat insentif besar bagi relawan tentara, yang menyebabkan ketidakseimbangan di pasar tenaga kerja.
Sberbank memperkirakan, laju pertumbuhan ekonomi Rusia akan melambat tajam menjadi hanya 0,8 persen pada 2025, jauh di bawah capaian 4,3 persen tahun sebelumnya. Bank sentral Rusia dijadwalkan mengumumkan kebijakan suku bunga baru pada hari yang sama, sementara para ekonom masih berbeda pandangan terkait langkah yang akan diambil.
Gref menyoroti bahwa tingginya suku bunga dan terbatasnya modal akibat sanksi Barat membuat peningkatan produktivitas dalam negeri sulit dicapai. Karena itu, menurutnya, opsi paling realistis bagi pemerintah adalah memperluas jumlah tenaga kerja dengan merekrut pekerja migran terampil.
Namun, seruan ini bukan tanpa tantangan. Isu migran masih sensitif di Rusia, dan jarang ada pejabat tinggi yang berani secara terbuka mendorong peningkatan jumlah pekerja asing. Selama ini, Rusia banyak mengandalkan tenaga kerja dari negara-negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah, terutama di sektor konstruksi dan layanan publik.
Arus migrasi bahkan semakin dibatasi sejak terjadinya serangan teror di gedung konser Moskwa pada 2024, yang membuat kebijakan imigrasi kian ketat. “Sayangnya, kita mengalami seleksi negatif. Banyak tenaga kerja yang datang berkeahlian rendah, sementara spesialis berkualitas tinggi justru pergi meninggalkan negara,” tutur Gref.
Ia menambahkan, pemerintah harus segera mengambil langkah aktif dengan menarik profesional asing dan memberi insentif bagi mahasiswa luar negeri agar mau menetap setelah lulus. “Ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga menyangkut keamanan nasional dan kelangsungan hidup Rusia sebagai negara,” tegasnya. (RH)

