Asia Timur di Persimpangan: Peringatan Eks PM Jepang Soal Dampak Kebijakan Trump

INTERNASIONAL PEMERINTAHAN

GLOBAL/ TOKYO – Peringatan yang pernah disampaikan mantan Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, pada 2022 kembali menjadi sorotan di tengah ketidakpastian geopolitik global. Saat itu, Kishida mengingatkan bahwa apa yang menimpa Ukraina dapat terjadi di Asia Timur di masa depan. Kini, ancaman tersebut bukan hanya invasi teritorial, tetapi juga pengkhianatan terhadap sekutu, sebagaimana yang dialami Ukraina dari Amerika Serikat (AS).

Dilansir dari Asia Times pada Selasa (11/3), kebijakan luar negeri Presiden AS Donald Trump semakin menunjukkan sifat transaksional. Meskipun Trump beralasan ingin mengakhiri konflik, langkah-langkah yang diambil lebih menguntungkan Rusia, sementara Ukraina justru menghadapi tuntutan kompensasi besar, termasuk pengalihan hak atas sumber daya mineral sebagai imbalan atas bantuan militer dan finansial yang telah diberikan Washington.

Dampak Kebijakan Trump: Asia Timur dalam Ancaman?

Ancaman terhadap stabilitas Asia Timur juga disoroti oleh Menteri Pertahanan Singapura, Ng Eng Hen. Seperti dikutip dari Channel News Asia pada Senin (3/3), ia menegaskan bahwa kebijakan luar negeri AS kini lebih mengutamakan supremasi nasional dengan mengorbankan hubungan bilateral dan multilateral.

“Citra AS telah berubah dari pembebas menjadi pengganggu besar, hingga kini lebih seperti tuan tanah yang menagih sewa,” ujar Ng, mengkritik pendekatan AS yang semakin pragmatis dan berbasis keuntungan semata.

Di Eropa, Trump telah menekan negara-negara dengan surplus perdagangan tinggi untuk membayar lebih atas perlindungan keamanan yang disediakan AS. Jika strategi ini diterapkan di Asia Timur, negara-negara dengan surplus perdagangan besar terhadap AS, seperti Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Thailand, bisa menjadi sasaran tekanan ekonomi.

Asia Timur: Antisipasi dan Strategi Menghadapi Ancaman

Meski ancaman ini nyata, Asia Timur memiliki beberapa faktor yang membedakannya dari Ukraina. Hubungan AS dengan negara-negara di kawasan ini lebih banyak didasarkan pada kepentingan ekonomi ketimbang nilai-nilai demokrasi atau hak asasi manusia. Jepang, misalnya, telah menerapkan strategi “tiga P”—praise (memuji Trump), pander (menyesuaikan diri dengan kebijakan AS), dan posture (memastikan aliansi tetap kuat)—untuk mempertahankan hubungannya dengan Washington. Namun, langkah ini belum tentu menjamin Jepang bebas dari tarif atau tekanan ekonomi lainnya.

Singapura, sebagai salah satu pusat bisnis terbesar di Asia dan pintu masuk bagi lebih dari 6.000 perusahaan AS, juga berisiko terkena dampak kebijakan proteksionis Trump, terutama karena negara tersebut mencatat defisit perdagangan sebesar 40 miliar dolar AS (sekitar Rp 656 triliun) dengan AS pada 2022.

Sementara itu, Filipina, yang merupakan salah satu sekutu terlama AS di Asia Tenggara, juga bisa menghadapi tekanan terkait bantuan militer yang selama ini diterima dari Washington. Negara-negara di kawasan ini harus segera mengadaptasi strategi mereka untuk menghadapi kemungkinan perubahan kebijakan AS di bawah kepemimpinan Trump.

Kesimpulan: Asia Timur Harus Siap Hadapi Geopolitik yang Berubah

Dengan dinamika global yang semakin tidak menentu, negara-negara Asia Timur tidak dapat mengandalkan jaminan keamanan yang sama seperti sebelumnya. Jika Trump terus menarik kembali komitmen AS di kawasan ini dan lebih mengedepankan pendekatan transaksional, negara-negara Asia harus siap menghadapi realitas geopolitik yang semakin kompleks.

Peringatan Kishida dua tahun lalu kini terasa semakin relevan. Apakah Asia Timur mampu menghindari skenario seperti yang menimpa Ukraina? Jawabannya akan sangat bergantung pada bagaimana negara-negara di kawasan ini menavigasi diplomasi dan strategi ekonomi mereka di tengah lanskap geopolitik yang terus berubah. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *