**PRADANAMEDIA / BERLIN — Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, memperingatkan bahwa Presiden China Xi Jinping kemungkinan besar akan menghubungi Presiden Rusia Vladimir Putin terlebih dahulu sebelum mengambil langkah militer terhadap Taiwan. Menurut Rutte, hal ini bisa menjadi strategi Beijing untuk mengalihkan perhatian Barat dan membuat NATO sibuk di kawasan Eropa.
“China mungkin akan menelepon Rusia sebelum menyerang Taiwan, untuk memastikan Eropa tetap sibuk menghadapi ancaman di kawasannya sendiri,” ujar Rutte dalam konferensi pers bersama Kanselir Jerman Friedrich Merz di Berlin, Rabu (9/7).

Pernyataan tersebut menunjukkan kekhawatiran mendalam NATO terhadap meningkatnya intensitas dan koordinasi antara China dan Rusia sebagai dua kekuatan yang kini dianggap sebagai ancaman utama bagi stabilitas global.
Redaksional tambahan:
Pernyataan Sekjen NATO ini menandai pergeseran fokus strategis NATO yang tidak hanya memprioritaskan kawasan Eropa, tetapi juga menyadari eskalasi risiko dari Indo-Pasifik. Situasi ini menuntut perhatian lebih terhadap keamanan global yang saling terhubung antara Asia Timur dan Eropa Timur.
China Bangun Militer dengan Cepat, Kapal Perang dan Nuklir Jadi Sorotan
Rutte menuding China tengah mempercepat pembangunan kekuatan militernya secara masif. Ia menyoroti fakta bahwa saat ini China telah memiliki armada kapal perang aktif yang melampaui jumlah milik Amerika Serikat.
“Beijing diprediksi akan memiliki tambahan 100 kapal perang pada tahun 2030. Mereka juga telah memiliki sekitar 1.000 hulu ledak nuklir. Ini bukan untuk parade militer di Beijing, tapi untuk digunakan jika diperlukan,” tegasnya.
Menurut Rutte, data intelijen dan berbagai diskusi internal NATO menyimpulkan bahwa upaya China untuk mengambil alih Taiwan menjadi semakin mungkin. Risiko konflik di kawasan Indo-Pasifik pun disebut mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Keterlibatan Negara-Negara Otoriter dalam Konflik Global
Rutte juga menggarisbawahi peran sejumlah negara lain dalam memperkuat poros anti-Barat. Korea Utara, misalnya, dinilai berkontribusi aktif dalam perang Ukraina melalui dukungan terhadap Rusia. Sementara itu, China disebut memasok komponen teknologi ganda (dual-use technologies) kepada Rusia. Iran pun ikut berperan dalam aliansi tersebut dengan memasok teknologi drone.
Keterlibatan tiga negara tersebut dalam dinamika konflik Ukraina menjadi sinyal bahwa aliansi otoriter tengah menyusun pola kerja sama strategis lintas kawasan yang berpotensi melemahkan posisi NATO dan sekutu-sekutunya.
Prediksi Serangan Rusia ke NATO dalam 3–7 Tahun
Lebih jauh, Sekjen NATO juga memperingatkan bahwa Rusia tidak akan berhenti pada konflik di Ukraina. Ia menyampaikan bahwa ada kemungkinan besar Rusia melancarkan serangan ke wilayah NATO dalam waktu tiga hingga tujuh tahun ke depan.
“Beberapa jenderal senior Jerman memperkirakan bahwa Rusia dapat melakukan serangan besar ke wilayah NATO dalam rentang waktu tersebut. Tiga tahun bisa berarti sekarang, lima tahun bisa berarti pekan depan, dan tujuh tahun bisa berarti bulan depan,” kata Rutte, mengilustrasikan urgensi yang tinggi.
Anggaran Pertahanan Naik: Bukan untuk Trump, Tapi Demi Keamanan Kolektif
Rutte menegaskan bahwa keputusan negara-negara anggota NATO untuk menaikkan anggaran pertahanan bukanlah untuk menyenangkan Presiden AS Donald Trump, tetapi murni didasarkan pada peningkatan ancaman nyata terhadap keamanan bersama.
“Kami sadar bahwa ancaman tersebut bukan hanya terhadap Eropa, tetapi juga terhadap Amerika Serikat dan Kanada. Inilah alasan mendasar mengapa peningkatan belanja pertahanan menjadi langkah yang tidak bisa ditawar,” pungkasnya. (RH)
