**PRADANAMEDIA / BEIJING – China resmi memulai pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) raksasa yang digadang-gadang bakal menjadi bendungan hidroelektrik terbesar di dunia. Proyek senilai 170 miliar dollar AS (setara Rp 2,77 kuadriliun) ini ditargetkan mulai menghasilkan listrik pada awal hingga pertengahan 2030-an dan diklaim mampu mencukupi kebutuhan energi tahunan setara dengan seluruh Inggris.
Melansir Reuters, Rabu (28/7), PLTA tersebut dibangun di sepanjang Sungai Yarlung Zangbo di dataran tinggi Tibet—yang dikenal sebagai Sungai Brahmaputra saat memasuki wilayah India dan Bangladesh. Proyek ini mencakup pembangunan lima bendungan sepanjang 50 kilometer dan diklaim akan menyediakan energi bersih serta membantu pengendalian banjir oleh pihak China.

Namun, pembangunan mega proyek ini langsung memantik kekhawatiran dari negara-negara hilir, khususnya India dan Bangladesh, yang bergantung pada aliran Sungai Brahmaputra sebagai sumber air utama bagi pertanian, perikanan, dan kehidupan sehari-hari.
“Proyek ini berisiko mengurangi hingga 80 persen aliran air yang masuk ke India dan bisa memicu banjir besar di wilayah Assam,” ujar Kepala Menteri Arunachal Pradesh, India.
Kurangnya Transparansi China Picu Kekhawatiran
Sejumlah pakar menyoroti bahwa Beijing sejauh ini belum banyak mengungkap detail teknis proyek, termasuk dampaknya terhadap negara-negara tetangga. Sayanangshu Modak, pakar hubungan air India-China dari University of Arizona, menyebutkan bahwa kurangnya transparansi dari pihak China memicu kekhawatiran bahwa proyek ini bisa menjadi alat geopolitik yang berpotensi mengancam ketahanan air di kawasan.
“Ada kekhawatiran nyata bahwa bendungan ini dapat digunakan sebagai instrumen tekanan politik terhadap India dan Bangladesh,” tegas Modak.
Dampak Ekologis dan Potensi Krisis Pertanian
Di luar persoalan geopolitik, proyek ini juga dikhawatirkan akan menimbulkan dampak ekologis jangka panjang. Profesor Michael Steckler dari Columbia University mengingatkan bahwa PLTA raksasa ini kemungkinan akan mengurangi aliran sedimen ke daerah hilir yang sangat penting untuk kesuburan tanah pertanian.
India dan China memiliki sejarah konflik perbatasan di wilayah tersebut, termasuk bentrokan bersenjata pada 1960-an. Kini, proyek bendungan ini dipandang memperkeruh dinamika hubungan bilateral yang telah lama rapuh.
“Pembangunan bendungan skala besar di daerah sensitif tanpa kerja sama regional berisiko memperburuk ketegangan yang sudah ada,” tambah Steckler.
Antara Energi Hijau dan Risiko Regional
Sementara Beijing mempromosikan proyek ini sebagai bagian dari upaya transisi ke energi ramah lingkungan, negara-negara tetangga menuntut jaminan bahwa proyek tersebut tidak akan mengorbankan keseimbangan ekosistem dan hak atas air negara hilir. (RH)
