Aji Galeng, Pemersatu Paser–Kutai yang Jadi Landasan Sejarah IKN

INSFRASTRUKTUR NASIONAL

PRADANAMEDIA / JAKARTA – Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Rudy Mas’ud memperkenalkan sosok Aji Galeng, tokoh bersejarah yang dinilai menjadi pemersatu antara Kesultanan Paser dan Kesultanan Kutai. Figur ini disebut berperan besar dalam meletakkan fondasi peradaban di wilayah Penajam Paser Utara, yang kini menjadi lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Kehadiran IKN tidak terjadi di ruang kosong. Ia berdiri di atas warisan peradaban yang telah ada sejak ratusan tahun lalu,” ujar Rudy saat meresmikan peluncuran buku “Aji Galeng dari Paser Utara Penjaga Negeri Peletak Peradaban” di Gedung Otorita IKN, Selasa (16/9).

Rudy mengapresiasi Yayasan Aji Galeng, Departemen Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI), serta seluruh pihak yang terlibat dalam penulisan buku tersebut. Ia berharap akan lahir lebih banyak karya sejarah dari berbagai daerah di Kaltim, agar masyarakat tetap terhubung dengan akar peradabannya.

“Peluncuran buku ini bukan sekadar mengenalkan sejarah tokoh lokal, tetapi juga momentum meneguhkan identitas Kaltim sebagai miniatur Indonesia. Keberagaman suku, budaya, dan agama di provinsi ini menjadi modal kuat dalam menjaga persatuan, terlebih di tengah pembangunan IKN menuju kota dunia,” kata Rudy.

Profil Aji Galeng: Panglima Perang dan Pemersatu Negeri

Aji Galeng lahir pada 1790 dari garis bangsawan Kesultanan Paser dan Kutai. Ia dikenal sebagai figur kharismatik yang mampu mempersatukan wilayah Telake dan Balik melalui ikatan politik dua kesultanan besar. Kawasan itu kini menjadi bagian dari Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara (Kukar), yang termasuk dalam wilayah IKN.

Pada 1819, Sultan Kutai Kartanegara ke-16, Aji Muhammad Salehuddin, mengangkatnya sebagai panglima perang. Setahun kemudian, ia memimpin pasukan mengusir serangan Inggris di Muara Pahu, Toyu, dan Sepaku. Pada 1821, ia diangkat sebagai Panembahan dan memimpin wilayah Telake-Balik dengan pusat pemerintahan di Lembakan.

Kehebatan Aji Galeng semakin menonjol ketika melawan Belanda. Pada 1825, ia memimpin Pertempuran Sepaku selama 93 hari dan berhasil memukul mundur pasukan kolonial. Perjuangan itu dilanjutkan pada 1880 bersama cucunya, Aji Sumegong, yang saat itu menjabat Adipati Sepaku sekaligus panglima muda. Keduanya sukses menggagalkan ambisi Belanda merebut sarang burung walet di Toyu dan Sepaku.

Dua tahun kemudian, pada 1882, Aji Galeng wafat dan dimakamkan di Lembakan. Meski telah tiada, warisan semangat persatuan dan perjuangan yang ditinggalkannya tetap hidup, terutama di tanah yang kini menjadi pusat pemerintahan baru Indonesia.

Warisan Peradaban untuk IKN

Ketua Yayasan Aji Galeng, Bambang Arwanto, menegaskan bahwa peluncuran buku ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga upaya menghadirkan inspirasi bagi pembangunan IKN.

“Dengan menggali kembali jejak tokoh lokal seperti Aji Galeng, kita mendapat spirit untuk membangun peradaban baru dengan semangat patriotisme, cinta tanah air, dan kebersamaan,” ungkapnya.

Peluncuran buku ini sekaligus mengingatkan bahwa pembangunan IKN tidak hanya berdiri di atas beton dan baja, tetapi juga harus berlandaskan jiwa, semangat persatuan, serta nilai luhur yang diwariskan leluhur bangsa. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *