Absennya Xi Jinping di KTT BRICS Brasil: Isyarat Prioritas Domestik dan Ujian Kepemimpinan Global

EKONOMI INTERNASIONAL

**PRADANAMEDIA / BEIJING — Presiden Tiongkok Xi Jinping dipastikan tidak akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, pada Minggu (6/7). Ketidakhadiran ini menjadi yang pertama sejak Xi menjabat pada 2012, dan memicu berbagai spekulasi mengenai arah baru diplomasi Beijing serta dampaknya terhadap masa depan BRICS.

Konfirmasi resmi dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Tiongkok pada Selasa (1/7), dan segera menjadi perhatian global mengingat peran sentral Tiongkok dalam blok BRICS — kelompok ekonomi negara berkembang yang kian diposisikan sebagai penyeimbang kekuatan Barat.

“Mengingat pentingnya peran Tiongkok dalam BRICS, keputusan Presiden Xi untuk absen jelas memiliki implikasi negatif terhadap dinamika forum ini,” ujar Oliver Stuenkel, pengamat hubungan internasional dari Fundacao Getulio Vargas (FGV), Brasil, kepada CNA.

Fokus ke Dalam Negeri: Prioritas atau Kalkulasi Strategis?
Walaupun pemerintah Tiongkok tidak mengungkapkan alasan spesifik, sejumlah analis menyebut absennya Xi terkait tekanan domestik yang semakin meningkat. Dari krisis properti yang belum usai, lesunya konsumsi domestik, hingga ancaman tarif baru dari Amerika Serikat, Xi disebut tengah menghadapi tantangan besar di dalam negeri.

“Absennya Xi merefleksikan adanya prioritas internal yang lebih mendesak, dan mungkin juga penilaian bahwa KTT kali ini tidak akan memberi manfaat signifikan bagi posisi Tiongkok,” kata Chong Ja Ian, dosen ilmu politik dari National University of Singapore.

Selain itu, Tiongkok juga tengah menyusun Rencana Lima Tahun ke-15 yang akan berlaku mulai 2026. Sejak Mei 2025, Partai Komunis Tiongkok telah membuka konsultasi publik dan merancang peta jalan strategis nasional.

South China Morning Post mengutip sumber diplomatik yang menyebut bahwa perjalanan panjang ke Brasil serta pertemuan bilateral sebelumnya antara Xi dan Presiden Brasil Lula da Silva bisa menjadi alasan logistik dan politis dari ketidakhadiran ini.

Ketidakhadiran yang Mengurangi Kapasitas Tiongkok?
Sejak awal, Xi menjadi wajah utama BRICS dan pendorong utama ekspansi serta penguatan agenda kolektif. Kini dengan ketidakhadirannya, pengaruh langsung Tiongkok diyakini melemah. Tiongkok saat ini menyumbang sekitar 60 persen dari total PDB nominal BRICS, dan menjadi mitra dagang utama bagi banyak anggota.

“Tanpa kehadiran Xi, kemampuan delegasi Tiongkok untuk membentuk konsensus dan menjalin komunikasi setara dengan para pemimpin negara lain tentu akan menurun,” lanjut Stuenkel.

Namun, peneliti senior dari Taihe Institute, Einar Tangen, menyatakan bahwa BRICS masih menjadi bagian dari strategi global Beijing.

“Bagi Tiongkok, BRICS adalah pilar penting dalam membentuk tatanan dunia multipolar — sebagai alternatif atas dominasi Barat dalam sistem keuangan dan geopolitik global,” ujarnya.

Sementara itu, Gabriel Huland dari Universitas Nottingham Ningbo menilai absennya Xi mencerminkan kepercayaan diri Tiongkok terhadap stabilitas dan arah BRICS.

“Tiongkok tampaknya yakin bahwa blok ini tetap berada di jalur yang telah mereka bantu bentuk,” katanya.

Panggung Baru bagi Pemimpin Lain
Tidak hanya Xi, Presiden Rusia Vladimir Putin juga absen dalam KTT tahun ini, masih terkait risiko penangkapan akibat surat perintah Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Dengan dua tokoh sentral tidak hadir, sorotan kini mengarah pada Perdana Menteri India Narendra Modi, yang diprediksi akan menjadi figur kunci.

“Modi kemungkinan akan menjadi magnet perhatian, terutama karena hanya India dan Brasil yang hadir dari empat pendiri awal BRICS,” ujar Stuenkel.

Belum jelas apakah para pemimpin Mesir dan Iran — dua anggota baru BRICS — akan hadir secara langsung, mengingat meningkatnya ketegangan di kawasan Timur Tengah.

Dalam situasi ini, pengamat menilai bahwa negara-negara demokratis dalam BRICS seperti Indonesia, Brasil, Afrika Selatan, dan India bisa memainkan peran lebih menonjol dalam menjaga keseimbangan arah dan nilai blok tersebut.

Agenda Berat: Reformasi Global dan De-Dolarisasi
Terlepas dari dinamika kehadiran pemimpin, KTT BRICS tahun ini tetap memikul agenda strategis: reformasi lembaga internasional, pendanaan perubahan iklim, serta penguatan sistem keuangan alternatif terhadap dominasi dolar AS.

Isu de-dolarisasi kembali menjadi sorotan utama. China dan Rusia sejak lama mendorong pengurangan ketergantungan pada dolar, bahkan menggagas kemungkinan penggunaan mata uang bersama BRICS. Dalam KTT sebelumnya, Xi menyerukan “keamanan finansial tingkat tinggi”, sementara Putin menuding AS telah memanipulasi dolar untuk kepentingan geopolitik.

Namun, negara seperti India dan Brasil cenderung lebih berhati-hati karena memiliki hubungan ekonomi dan strategis dengan negara-negara Barat. Pendekatan ini, menurut Tangen, bisa menghambat laju transformasi radikal yang diinginkan oleh beberapa anggota BRICS.

“Diplomasi moderat Brasil dan strategi hedging India menunjukkan bahwa BRICS masih akan menghadapi tarik-menarik kepentingan dalam menentukan arah ke depan,” tutupnya. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *