PRADANAMEDIA / JAKARTA, 2 September 2025 – Dunia politik Indonesia kembali diguncang oleh keputusan penonaktifan sejumlah anggota DPR oleh partai politik mereka. Tindakan ini diambil menyusul pernyataan dan tindakan para wakil rakyat yang dianggap mencederai kepercayaan publik di tengah situasi sosial yang sensitif. Namun langkah ini memunculkan pertanyaan publik yang menggelitik: apakah anggota DPR yang dinonaktifkan masih menerima gaji dan tunjangan dari negara?
Penonaktifan politikus dari partai adalah fenomena yang tidak umum namun menjadi sorotan besar, terutama ketika disertai tekanan publik dan respons cepat dari partai politik. Meski terlihat sebagai bentuk kedisiplinan internal partai, publik mempertanyakan sejauh mana efek nyata dari penonaktifan tersebut, khususnya dalam aspek keuangan dan status anggota di parlemen.
Langkah Politik atau Respons Publik?
Secara umum, partai politik dapat menonaktifkan anggotanya dari kegiatan internal jika dinilai melakukan pelanggaran etika, membuat pernyataan kontroversial, atau bertindak di luar garis perjuangan partai. Namun, langkah tersebut tidak serta-merta mengubah status resmi seseorang sebagai anggota DPR.
Pengamat politik menyebut, tindakan ini sering kali berada di antara dua kepentingan: menjaga marwah partai dan merespons tekanan opini publik. “Penonaktifan menjadi sinyal bahwa partai tidak ingin dicap abai terhadap kemarahan rakyat, sekaligus menunjukkan kontrol internal terhadap kadernya,” jelas seorang analis politik dari LIPI.
Status di DPR Tak Langsung Gugur
Meski dinonaktifkan dari partai, seorang anggota DPR tetap sah secara hukum hingga diberhentikan secara resmi melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Ahli hukum tata negara menegaskan bahwa keputusan internal partai tidak memiliki kekuatan hukum untuk mencabut status keanggotaan di DPR. “Status anggota DPR melekat secara konstitusional, dan hanya bisa dicabut melalui proses yang jelas, termasuk keputusan Badan Kehormatan DPR atau Mahkamah Partai,” ujarnya.
Hak Keuangan Tetap Mengalir
Yang paling menuai sorotan adalah hak keuangan para anggota yang telah dinonaktifkan. Sesuai regulasi, anggota DPR yang belum diberhentikan secara resmi tetap berhak menerima:
- Gaji pokok dan tunjangan jabatan
- Tunjangan komunikasi dan transportasi
- Fasilitas kesehatan, keamanan, hingga perumahan
Ketua Badan Anggaran DPR menyatakan bahwa keputusan partai tidak bisa serta-merta menghentikan pemberian hak-hak tersebut. “Kecuali ada pemberhentian melalui jalur hukum atau konstitusional, hak keuangan tidak bisa dicabut begitu saja. Ini demi menjamin kepastian hukum,” tegasnya.
Mekanisme Penonaktifan: Internal tapi Berdampak Luas
Penonaktifan anggota DPR oleh partai biasanya melewati beberapa tahapan:
- Evaluasi Internal terhadap pernyataan atau tindakan kader.
- Rapat Penentuan Sanksi, termasuk opsi penonaktifan sementara.
- Pemberitahuan Resmi kepada yang bersangkutan.
- Pemantauan Lanjutan, hingga keputusan akhir: rehabilitasi atau pemecatan permanen.
Namun karena sifatnya internal, proses ini tak langsung memengaruhi hak dan kewajiban anggota di parlemen—kecuali jika dilanjutkan dengan pengajuan pemberhentian resmi ke lembaga terkait.
Pro dan Kontra di Masyarakat
Langkah penonaktifan ini memicu berbagai reaksi. Sebagian masyarakat memuji partai yang berani bertindak cepat sebagai bentuk tanggung jawab moral. Namun sebagian lain menilai penonaktifan hanyalah kosmetik politik yang tidak menyentuh akar persoalan.
Seorang pengamat sosial menyebut, “Publik perlu transparansi. Kalau hanya dinonaktifkan tapi masih digaji, maka kepercayaan terhadap parlemen tidak akan pulih. Harus ada kejelasan hukum, bukan sekadar reaksi politik.”
Dampak terhadap Kinerja dan Citra Parlemen
Penonaktifan anggota bisa mengganggu distribusi tugas di komisi-komisi DPR, apalagi jika melibatkan anggota yang memegang posisi strategis. Namun secara umum, DPR memiliki mekanisme untuk menyesuaikan beban kerja sementara.
Yang paling penting, kata pengamat, adalah bagaimana langkah seperti ini memengaruhi citra DPR di mata publik. Integritas dan etika personal anggota menjadi cerminan langsung dari lembaga legislatif secara keseluruhan.
Demokrasi Butuh Keseimbangan
Kasus penonaktifan anggota DPR kembali menjadi pengingat bahwa sistem demokrasi harus menjamin dua hal sekaligus: disiplin internal partai dan perlindungan hukum bagi wakil rakyat. Penonaktifan memang penting untuk menjaga integritas partai, namun tetap harus dilakukan dengan prosedur yang transparan dan akuntabel.
Partisipasi publik, melalui kritik, pengawasan, dan diskusi terbuka, juga memegang peran vital. Tanpa pengawasan masyarakat, tindakan partai bisa berubah menjadi alat politik semata.
Kesimpulan: Dinonaktifkan, Tapi Belum Berakhir
Penonaktifan anggota DPR bukan akhir dari segalanya. Selama belum ada keputusan hukum resmi, mereka tetap menyandang status sebagai wakil rakyat—beserta hak, gaji, dan fasilitas yang melekat. Di sinilah pentingnya edukasi politik kepada masyarakat, agar memahami perbedaan antara sanksi internal partai dan mekanisme formal dalam sistem ketatanegaraan.
Transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan pada hukum adalah pilar utama agar demokrasi tetap sehat. Karena pada akhirnya, kepercayaan publik tidak dibangun dari pidato—melainkan dari tindakan nyata yang berpihak pada rakyat. (AK)
