Kereta Api Borneo: Mimpi Lama yang Menanti Wujud, Harus Jadi Semangat Bersama Masyarakat Dayak

INSFRASTRUKTUR LOKAL SOSIAL BUDAYA

PRADANAMEDIA / PALANGKA RAYA – Gubernur Kalimantan Tengah, H. Agustiar Sabran, secara resmi membuka Seminar Internasional Pumpung Hai Borneo yang turut membahas proyek strategis jangka panjang: pembangunan jalur kereta api di Kalimantan Tengah.

Rencana pembangunan jaringan rel ini dinilai mampu menjadi solusi untuk menekan biaya logistik, membuka konektivitas antarwilayah, serta mendukung pertumbuhan ekonomi regional yang terintegrasi dengan Ibu Kota Nusantara (IKN). Bahkan, proyek ini telah masuk dalam rencana tata ruang provinsi dan diproyeksikan sebagai penggerak pemerataan pembangunan lintas kawasan.

Komisaris Logistik PT Kereta Api Indonesia (KAI), Fernando Dulin, menyatakan optimisme atas rencana tersebut. Menurutnya, meski perjalanan realisasinya panjang, kehadiran kereta api di Borneo semakin mendesak di tengah pembangunan IKN.

“Kereta api bukan hanya kebutuhan bisnis, tetapi instrumen untuk pemerataan ekonomi, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945,” tegasnya.

Fernando menekankan bahwa rencana pembangunan kereta api di Kalimantan sebenarnya sudah muncul sejak era Gubernur Agustin Teras Narang dan sempat tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 43 Tahun 2011. Sayangnya, aturan itu dicabut pada 2018 tanpa penjelasan detail, mengakibatkan hilangnya kepastian hukum.

Meski begitu, ia meyakini proyek ini masih sangat mungkin dijalankan, terlebih dengan dukungan politik dan sosial yang kuat. Namun, ia mengakui adanya tantangan serius terkait lahan adat. Tidak seperti jalan raya yang bisa mengikuti jalur eksisting, rel kereta api cenderung harus menembus wilayah baru—yang berpotensi bersinggungan langsung dengan tanah adat atau ulayat.

“Karena itu, semangat pembangunan ini harus muncul dari masyarakat Dayak sendiri. Tidak cukup hanya jadi proyek pemerintah,” katanya menegaskan.

Senada dengan itu, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Palangka Raya, Prof. Dr. H. Bulkani, M.Pd, menilai bahwa mimpi membangun kereta api di Kalimantan bukanlah gagasan baru, melainkan harapan lama yang terus tertunda. Menurutnya, yang selama ini menjadi penghambat bukan penolakan masyarakat adat, melainkan lemahnya dorongan politik dari pemerintah pusat maupun daerah.

Ia menyebut masyarakat Dayak pada dasarnya terbuka terhadap pembangunan yang memperhatikan kearifan lokal dan hak-hak adat. Skema pembiayaan juga dinilainya tidak harus bergantung pada APBN semata, melainkan bisa melalui investasi swasta atau skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

“Kita punya sumber daya—tambang, kebun, hasil bumi—tapi kontribusinya terhadap infrastruktur strategis seperti kereta api belum maksimal. Padahal inilah saatnya menjadikan Borneo setara dengan pulau besar lainnya dalam hal konektivitas,” ujarnya.

Forum internasional ini pun memperkuat pesan bahwa pembangunan jaringan kereta api bukan sekadar proyek fisik, melainkan agenda besar untuk mempercepat konektivitas, meningkatkan pemerataan ekonomi, dan memperkuat pengakuan atas hak-hak masyarakat adat.

Aspirasi yang paling kuat muncul dalam seminar ini adalah: proyek kereta api harus menjadi milik bersama masyarakat Kalimantan, khususnya Dayak, bukan sekadar program pemerintah pusat. (AK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *