PRADANAMEDIA / PALANGKA RAYA – Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan bukanlah kelompok tertinggal, melainkan mitra penting dalam menjaga bumi, hutan, serta peradaban. Karena itu, eksistensi dan hak-hak masyarakat adat harus mendapat perlindungan nyata.
Pesan tersebut mengemuka dalam Seminar Internasional Hari Masyarakat Adat Sedunia bertajuk Pumpung Hai Borneo atau The Great Borneos Assembly yang digelar di Kalawa Convention Hall, Palangka Raya, Jumat (22/8).
Acara ini dibuka oleh Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), Agustiar Sabran, yang menegaskan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga martabat masyarakat adat.
“Kita harus bersatu menyuarakan kepentingan daerah agar hasil kekayaan alam benar-benar memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Kalimantan, tanpa mengabaikan keberlanjutan lingkungan,” tegas Agustiar.

Ia menekankan bahwa masyarakat adat harus menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri. Menurutnya, forum internasional ini dapat menjadi ruang kolaborasi untuk memperjuangkan kepentingan bersama daerah penghasil sumber daya alam di Kalimantan.
Kegiatan tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari seluruh provinsi di Kalimantan. Mereka duduk bersama membangun kesepahaman tentang arah pembangunan yang sejalan dengan jati diri, budaya, dan hak-hak Masyarakat Adat Dayak.
Sebagai penutup, dilakukan penandatanganan kesepakatan bersama antara pemerintah daerah se-Kalimantan sebagai wujud komitmen memperkuat posisi Masyarakat Adat Dayak, sekaligus menjadikan Kalimantan sebagai pusat ekonomi nasional dan pusat budaya Dayak bertaraf internasional.
Namun, di balik semangat besar ini, Masyarakat Adat Dayak masih menghadapi persoalan pelik. Konflik agraria terus menghantui dan mengancam hak-hak tradisional mereka.
Baru-baru ini, masyarakat Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang pada perayaan HUT RI ke-80, Minggu (17/8). Aksi itu sebagai tanda duka dan protes atas penangkapan Kades Tempayung, Syachyunie, yang divonis enam bulan penjara setelah dilaporkan oleh PT Sungai Rangit Sampoerna Agro.
Syachyunie dituduh sebagai dalang aksi pemortalan yang dilakukan masyarakat adat terhadap perusahaan perkebunan tersebut. Kasus ini menyoroti masih rentannya posisi Masyarakat Adat Dayak dalam mempertahankan hak ulayat mereka. (RH)
