Eks Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol Didakwa Makar dan Penyalahgunaan Wewenang, Tersandung Krisis Darurat Militer

HUKAM INTERNASIONAL

**PRADANAMEDIA / SEOUL – Mantan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, resmi didakwa atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan upaya pemberontakan, menyusul deklarasi darurat militer kontroversial yang ia keluarkan pada Desember 2024. Dakwaan ini diumumkan oleh pengadilan Korea Selatan pada Sabtu, 19 Juli 2025, berdasarkan penyelidikan intensif yang dilakukan oleh tim kejaksaan.

Dikutip dari CNA, penyelidikan mendalam menyebut Yoon memicu krisis konstitusional ketika ia mengirim pasukan militer ke parlemen pada 3 Desember 2024 guna mencegah pemungutan suara yang berpotensi membatalkan status darurat yang ia tetapkan. Tindakan tersebut dituduh sebagai langkah kudeta terhadap pemerintahan sipil yang sah.

Jaksa Penuntut Park Ji-young menjelaskan bahwa Yoon tidak melalui prosedur hukum yang semestinya saat menetapkan darurat militer. Ia dinilai sengaja menghindari rapat kabinet, serta diduga memalsukan dokumen yang menyatakan persetujuan dari Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. Bahkan, dokumen palsu tersebut sempat digunakan untuk memperkuat legalitas deklarasi.

Yoon menjadi presiden pertama dalam sejarah Korea Selatan yang ditahan saat masih menjabat. Ia ditangkap pada Januari 2025, usai menolak berulang kali hadir dalam pemeriksaan dan bahkan menggunakan pasukan pengamanan presiden untuk menghalangi penyelidik.

Meski sempat dibebaskan dengan alasan prosedural pada Maret, pengadilan kembali menahan Yoon pekan lalu setelah muncul kekhawatiran bahwa ia dapat menghilangkan atau merusak barang bukti penting. Saat ini, ia ditahan di sel isolasi yang hanya dilengkapi kipas angin, di tengah gelombang panas ekstrem yang melanda Korea Selatan.

Dalam sidang terbaru pada Jumat, 18 Juli 2025, Yoon hadir untuk mengajukan permohonan pencabutan surat penahanan dengan alasan kesehatan fisik dan keterbatasan mobilitas. Ia membela diri selama lebih dari 30 menit, namun pengadilan menolak permohonan tersebut.

Kasus ini menimbulkan gejolak politik besar di Korea Selatan, bahkan mendorong gelombang demonstrasi dan desakan reformasi terhadap sistem kekuasaan eksekutif. Saat ini, pemerintahan baru di bawah Presiden Lee Jae-myung menghadapi tekanan besar untuk memulihkan stabilitas demokrasi dan menindak tegas pelanggaran konstitusi oleh pejabat tinggi negara. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *