**PRADANAMEDIA / JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya angkat bicara menanggapi derasnya kritik publik dan elite politik atas putusan pemisahan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029. Putusan yang dituangkan dalam perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut menuai kontroversi luas, karena dinilai menabrak prinsip-prinsip konstitusional.
Sekretaris Jenderal MK, Heru Setiawan, menyampaikan bahwa pihaknya telah menjalankan tugas sesuai kewenangan konstitusionalnya dengan membacakan putusan. Tindak lanjut atas putusan tersebut, kata Heru, kini sepenuhnya menjadi tanggung jawab DPR sebagai pemegang kuasa legislasi.
“Putusan MK sudah diucapkan, kami tinggal menunggu DPR untuk menindaklanjuti. Karena itu ranah mereka,” ujar Heru saat ditemui di Gedung DPR RI, Rabu (9/7).

Sebagai informasi, dalam putusannya, MK menetapkan bahwa Pemilu nasional pada 2029 hanya akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, serta anggota DPD. Sementara itu, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota akan digabungkan dengan Pilkada dan dilakukan pada waktu berbeda, paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden dan DPR/DPD terpilih.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan bahwa keputusan ini dilandasi kemandekan revisi terhadap UU Pemilu (UU Nomor 7 Tahun 2017) pasca Putusan MK sebelumnya, yaitu Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019. Ia menegaskan bahwa seluruh skema pemilu yang telah berjalan selama ini tetap berada dalam koridor konstitusional.
“Penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilu, termasuk Pilgub, Pilbup, dan Pilwalkot, tetap sah secara konstitusional,” ujar Saldi dalam sidang di MK, Kamis (26/6).
Namun, reaksi keras segera datang dari berbagai pihak, termasuk partai politik dan anggota DPR.
Partai Nasdem menyatakan sikap tegas menolak putusan tersebut. Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, menyebut MK telah bertindak di luar batas kewenangannya dan menciptakan norma baru yang seharusnya menjadi domain pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.
“Putusan ini menimbulkan problem ketatanegaraan dan membuka ruang ketidakpastian dalam sistem demokrasi kita. MK telah berubah menjadi negative legislator yang justru mencuri kedaulatan rakyat,” kata Lestari dalam konferensi pers resmi Nasdem di Jakarta, Senin (30/6).
Senada, Wakil Ketua Umum PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal, menyebut bahwa keputusan MK telah melanggar konstitusi karena menyimpangi prinsip lima tahunan pelaksanaan pemilu sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
“Konstitusi menyatakan pemilu setiap lima tahun. Kalau MK malah membuat jeda hingga 7,5 tahun karena pemisahan ini, berarti penjaga konstitusi justru melanggarnya,” tegas Cucun.
Sikap kritis juga datang dari internal DPR. Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, memperingatkan bahwa pemisahan pemilu yang menyebabkan perpanjangan masa jabatan DPRD dari lima menjadi tujuh setengah tahun adalah bentuk pelanggaran konstitusional.
“Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 sudah jelas: pemilu lima tahun sekali. Kalau masa jabatan DPRD diperpanjang karena skema baru ini, maka kita sedang melabrak konstitusi,” ujar Rifqi di DPR, Senin (7/7).
Ketegangan antara Mahkamah Konstitusi dan lembaga legislatif pun makin mencuat ke permukaan. Di tengah sorotan publik yang terus meningkat, kini bola panas itu berada di tangan DPR: apakah akan menindaklanjuti putusan MK atau justru mengambil langkah korektif melalui revisi perundang-undangan. (RH)
