**PRADANAMEDIA / PALANGKA RAYA – Pemerintah pusat melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) resmi membuka kembali kran program transmigrasi yang sempat dihentikan sementara selama beberapa tahun terakhir. Kalimantan Tengah (Kalteng) menjadi salah satu wilayah prioritas dalam implementasi kebijakan nasional ini.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Kalimantan Tengah, Farid Wajdi, mengungkapkan bahwa program ini tidak hanya akan menerima warga lokal, tetapi juga transmigran dari luar daerah. Lima kawasan transmigrasi telah disiapkan untuk menampung para pendatang tersebut, yakni:
- Kuala Jelai di Kabupaten Sukamara,
- Belantikan Raya di Kabupaten Lamandau,
- Kotawaringin Lama dan Arut Selatan di Kabupaten Kotawaringin Barat,
- Tumbang Jutuh di Kabupaten Gunung Mas,
- serta Lamunti Dadahup di Kabupaten Kapuas.
Untuk tahap awal di tahun 2025, kawasan Kuala Jelai di Sukamara akan menjadi lokasi penerimaan transmigran baru. Adapun komposisi antara warga lokal dan pendatang masih menunggu keputusan final dari pemerintah kabupaten.
“Prinsip utama dalam pelaksanaan program ini adalah memastikan seluruh lahan yang digunakan memiliki status clear and clean, bebas konflik, dan telah diverifikasi kelayakannya,” jelas Farid, Selasa (8/7).
Pemerintah Provinsi Kalteng telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan sejumlah daerah pengirim seperti Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Proses berikutnya adalah penyusunan daftar nama calon transmigran dari daerah asal dan warga lokal yang akan diseleksi untuk bergabung.
Berdasarkan data, Provinsi Kalteng sudah menerima alokasi transmigrasi dalam tiga tahun terakhir:
- Tahun 2022: 11 Kepala Keluarga (KK),
- Tahun 2023: 7 KK,
- Tahun 2024: 7 KK.
Seluruhnya berasal dari Jawa Tengah dan ditempatkan di kawasan Belantikan Raya, Lamandau, yang sebelumnya memiliki unit hunian kosong. Pemerintah pusat bertanggung jawab menyediakan kebutuhan dasar para transmigran, mulai dari tempat tinggal, fasilitas lingkungan, hingga jaminan hidup awal (jadup). Sementara itu, pemerintah provinsi berperan dalam pembinaan dan pelatihan keterampilan berbasis potensi lokal.
Di Belantikan Raya, misalnya, transmigran mendapatkan pelatihan budidaya kopi, pengolahan madu kelulut, hingga teknik pertanian berkelanjutan. Sedangkan di Kapuas, program pelatihan pernah difokuskan pada sektor perikanan.
Sebelum suatu kawasan resmi menjadi tujuan transmigrasi, harus melalui proses verifikasi menyeluruh dari kementerian terkait, mencakup aspek sosial, ekonomi, dan ketersediaan lahan. Jika dinyatakan layak, maka anggaran akan dialokasikan dan jumlah serta asal transmigran akan ditentukan. Komposisi warga lokal dan pendatang pun disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik wilayah. Di Kapuas, misalnya, komposisi pernah ditetapkan 80 persen warga lokal dan 20 persen pendatang.
Farid menegaskan bahwa transmigrasi bukan semata pemindahan besar-besaran ke wilayah kosong. “Sebaliknya, ini adalah langkah untuk mengisi kembali kawasan transmigrasi yang sebelumnya telah dibangun dan dilengkapi infrastruktur dasar, namun mengalami kekosongan karena ditinggalkan atau belum terisi optimal. Tujuan akhirnya adalah menjaga agar kawasan tersebut tetap hidup, produktif, dan berkembang secara berkelanjutan,” tutupnya.
Kebijakan reaktivasi transmigrasi ini mencerminkan strategi pemerintah dalam pemerataan pembangunan dan distribusi penduduk, khususnya di luar Pulau Jawa. Jika dikelola dengan baik, program ini dapat menjadi katalis bagi pengembangan kawasan baru, peningkatan ekonomi desa, serta integrasi sosial antara pendatang dan warga lokal. Namun demikian, penting bagi semua pihak, termasuk pemda, untuk memastikan bahwa pendekatan yang digunakan bersifat partisipatif, sensitif terhadap lingkungan sosial, dan menjunjung hak masyarakat lokal secara adil. (RH)
