HTI Bergerak di Bawah Tanah, Paham Khilafah Masih Menyebar Secara Terselubung hingga ke Daerah

HUKAM NASIONAL SOSIAL BUDAYA

Peadanamedia/ Jakarta, 13 Juni 2025 – Meskipun resmi dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang sejak Mahkamah Agung menolak kasasi pada 2019, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hingga kini masih aktif beroperasi secara terselubung. Penyebaran paham khilafah tidak hanya berlangsung secara nasional, tetapi juga telah merambah ke berbagai daerah di Indonesia. Gerakan ini dinilai sistematis, lintas generasi, dan memiliki struktur kaderisasi yang mapan, bahkan menargetkan keberlanjutan gerakan hingga tahun 2045.

Sebelum pembubarannya, HTI dikenal luas karena menyelenggarakan kegiatan besar-besaran seperti Konferensi Khilafah Internasional 2007, Muktamar Khilafah 2013, dan Pawai Akbar 2015 di Gelora Bung Karno (GBK), yang dihadiri puluhan ribu orang. Mereka juga aktif menyebarkan narasi khilafah melalui tabloid, buletin, media sosial, hingga mimbar-mimbar dakwah kampus dan majelis taklim.

Namun setelah status terlarang diberlakukan, gerakan ini tidak serta-merta hilang. Justru, HTI mengalami perubahan bentuk: bergerak di bawah tanah, mengganti nama organisasi, dan menyusup dalam berbagai forum pendidikan, sosial, serta lembaga keagamaan. Aktivitas terselubung seperti Multaqo Ulama Aswaja di Pasuruan (2023) dan Metamorfoshow di TMII (2024) menjadi contoh nyata bagaimana jaringan ini tetap hidup dan berkembang diam-diam.

Estafet Gerakan: Dari Baby Boomers ke Generasi Zhilafah

Gerakan HTI memiliki sistem kaderisasi antar-generasi yang terorganisir rapi. Berdasarkan penelusuran, para aktivis HTI terbagi ke dalam empat generasi:

  1. Generasi Pelopor (1946–1964)
    Merupakan generasi awal (halqah ula) yang langsung dibina oleh tokoh sentral HTI, Abdurrahman al-Baghdadi. Nama-nama penting dalam lingkaran ini seperti MIY (juru bicara HTI), TKJ (wakil media pusat HT internasional untuk Asia Tenggara), AS alias AF (Ketum HTI pertama), dan SO alias AI (Mudir Maktab). Keberadaan mereka kini sangat tertutup, kecuali MIY yang masih dikenali publik.
  2. Generasi Perintis (1965–1980)
    Mereka adalah generasi penyebar awal yang membawa HTI ke berbagai provinsi, termasuk Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Generasi ini memiliki kontribusi besar dalam membentuk struktur HTI hingga tingkat kabupaten/kota, serta menjadi pelaksana utama kegiatan besar nasional sebelum pembubaran.
  3. Generasi Pengembang (1981–1996)
    Umumnya mengenal HTI di bangku kuliah, dan menjadi pengurus aktif pada saat HTI berbadan hukum. Meski HTI telah dibubarkan, mereka tetap aktif sebagai ASN, dosen, guru, pengusaha, filantropis, dan pendiri lembaga-lembaga pendidikan dan komunitas sosial. Mereka menggunakan platform ini sebagai sarana rekrutmen dan kaderisasi ideologi khilafah.
  4. Generasi Penerus (1997–2012)
    Disebut juga generasi zhilafah, mereka adalah anak-anak dari generasi sebelumnya yang kini mendapat pembinaan dari lembaga pendidikan milik kader HTI. Sebagian besar tidak mengenal HTI secara formal, namun tumbuh dalam lingkungan ideologis serupa. Beberapa di antaranya dikirim ke Universitas Al-Azhar Kairo dan institusi pendidikan Islam lainnya. Secara keilmuan, mereka bahkan dinilai lebih unggul dari pendahulunya.

Menurut sejumlah kajian, gerakan HTI sampai 2030 masih dikendalikan oleh generasi pengembang, namun mulai 2030 hingga 2045, generasi zhilafah diperkirakan akan menjadi motor utama. Hal ini memunculkan kekhawatiran serius bahwa narasi “Indonesia Emas 2045” dapat dibajak menjadi “Khilafah Emas 2045” apabila tidak diantisipasi secara sistemik.

Waspada Infiltrasi Ideologi di Daerah dan Dunia Pendidikan

Indikasi menunjukkan bahwa gerakan HTI tidak lagi terbatas di pusat kekuasaan atau kota besar. Aktivitas mereka kini lebih banyak bersembunyi di balik kegiatan pendidikan, sosial, dan keagamaan di daerah. Dengan menghindari simbol formal, mereka memanfaatkan celah-celah komunitas keislaman yang lemah dalam literasi ideologi kebangsaan.

Penyebaran masif melalui Facebook, Instagram, Telegram, TikTok, dan YouTube menargetkan generasi muda, dengan narasi khilafah yang dibungkus dakwah moral dan sosial. Sementara itu, organisasi sayap seperti Gema Pembebasan masih aktif merekrut mahasiswa di berbagai kampus, menyusup melalui komunitas diskusi dan forum intelektual.

Perlu Sinergi Nasional untuk Mencegah Radikalisasi Jangka Panjang

Fenomena ini menuntut kewaspadaan bersama, terutama dari umat Islam dan ormas-ormas Islam, agar tidak menjadi korban infiltrasi gerakan politik keagamaan yang menolak prinsip-prinsip demokrasi dan kebangsaan.

Langkah-langkah strategis perlu segera dilakukan oleh pemerintah, akademisi, dan tokoh agama untuk menumbuhkan ketahanan ideologis dan wawasan kebangsaan, sekaligus membatasi ruang gerak kelompok yang menyebarkan paham khilafah dengan memanfaatkan keleluasaan demokrasi itu sendiri.

Tanpa antisipasi, bukan tidak mungkin, gerakan bawah tanah ini menjadi ancaman laten bagi masa depan Indonesia. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya ideologi negara, tapi keutuhan NKRI dan generasi bangsa di masa mendatang. (KN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *