Negosiasi di Swiss: Akankah China dan AS Akhiri Perang Tarif yang Berkepanjangan?

EKONOMI INTERNASIONAL

**PRADANAMEDIA/ BEIJING – Harapan baru untuk meredakan ketegangan dagang antara dua ekonomi terbesar dunia mulai terlihat. Wakil Perdana Menteri China He Lifeng dijadwalkan bertemu dengan Menteri Keuangan Amerika Serikat Scott Bessent di Swiss, sebagai bagian dari negosiasi awal menuju penyelesaian perang tarif yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Pertemuan bilateral ini disebut-sebut diinisiasi oleh pihak AS. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, dalam konferensi pers di Beijing pada Rabu (7/5).

“Baru-baru ini, AS berkali-kali menyatakan keinginannya untuk berunding dengan China. Pertemuan ini diadakan atas permintaan Amerika,” ujarnya.

Meskipun bersedia berdialog, China tetap menegaskan penolakannya terhadap kebijakan tarif yang diberlakukan secara sepihak oleh AS. Lin Jian menyampaikan bahwa posisi China dalam isu ini tidak berubah, dan bahwa negosiasi hanya bisa terjadi jika didasarkan pada prinsip kesetaraan, rasa hormat, dan saling menguntungkan.

“Menekan atau memaksa China dengan cara apa pun tidak akan berhasil. Kami akan dengan tegas melindungi kepentingan sah kami serta menegakkan keadilan dan prinsip internasional,” tegasnya.

Lin Jian juga menepis kekhawatiran soal dampak perang tarif terhadap perekonomian domestik. Ia menyebut bahwa fundamental ekonomi China tetap kuat, stabil, dan tahan terhadap guncangan eksternal, serta tetap berada di jalur pembangunan berkualitas tinggi.

Sementara itu, dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri China menyebut bahwa kunjungan He Lifeng ke Swiss akan berlangsung pada 9–12 Mei 2025, atas undangan pemerintah Swiss. Selain bertemu dengan pejabat AS, He juga dijadwalkan bertolak ke Prancis pada 12–16 Mei 2025 untuk menjadi ketua bersama dalam Dialog Ekonomi dan Keuangan Tingkat Tinggi China–Prancis ke-10.

Perang tarif antara China dan AS sendiri telah berlangsung sejak era Presiden Donald Trump, yang mengenakan beragam tarif tinggi hingga 245 persen terhadap barang-barang dari China. Tarif ini mencakup tarif resiprokal (125 persen), tarif khusus terkait isu fentanil (20 persen), serta tarif “Section 301” yang dikenakan secara selektif antara 7,5 hingga 100 persen. Sebagai balasan, China meningkatkan tarif atas produk AS dari 84 persen menjadi 125 persen per 11 April 2025.

Peluang negosiasi ini memberi sinyal bahwa Washington mulai membuka ruang kompromi di tengah tekanan ekonomi global. Namun, sejauh mana komitmen kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik tarif ini masih menjadi tanda tanya.

Apakah negosiasi ini akan menjadi titik balik dalam hubungan dagang China–AS? Atau sekadar jeda taktis di tengah rivalitas strategis yang lebih besar? (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *