**PRADANAMEDIA/ JAKARTA – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, mengingatkan bahwa Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah strategis, baik di tingkat internasional maupun domestik, guna menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah situasi global yang semakin tidak menentu.
“Di dalam negeri, kita sedang menghadapi tantangan serius: mulai dari penurunan daya beli masyarakat hingga gejolak tajam di pasar saham dan sektor keuangan,” ujar Said dalam keterangan persnya pada Rabu (3/4).

Respons Strategis Hadapi Ketidakpastian Global
Sebagai respons terhadap kondisi global yang penuh ketidakpastian, Said menyoroti dua pendekatan besar yang harus segera dilakukan pemerintah:
1. Mendorong Reformasi Sistem Perdagangan Global melalui WTO
Said menekankan pentingnya Indonesia untuk lebih proaktif dalam forum World Trade Organization (WTO). Pemerintah diminta memperjuangkan penyehatan sistem perdagangan dunia yang adil dan berkelanjutan.
“Kita tidak ingin kepentingan negara adidaya justru mengorbankan kesejahteraan masyarakat dunia,” tegasnya.
Ia mengingatkan kembali prinsip utama WTO, yakni perdagangan yang nondiskriminatif, transparan, bebas hambatan, serta menjadi ruang penyelesaian sengketa perdagangan antarnegara secara adil.
2. Merancang Langkah Strategis dalam Negeri
Untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional, Said memaparkan tujuh strategi utama yang perlu segera dijalankan:
- Menjaga kinerja ekspor nasional: Pemerintah harus melindungi produk ekspor Indonesia dan membuka pasar alternatif jika pasar utama terganggu akibat tarif tinggi.
- Mengoptimalkan devisa hasil ekspor: Kebijakan penempatan 100 persen devisa hasil ekspor di dalam negeri harus diawasi dengan ketat demi memperkuat cadangan devisa dan menstabilkan nilai tukar rupiah.
- Memperkuat mekanisme hedging untuk impor: Penting untuk menyediakan instrumen lindung nilai (hedging) agar importir tidak terpukul oleh fluktuasi mata uang.
- Memperluas kerja sama currency swap bilateral: Indonesia perlu memperluas kerja sama tukar-menukar mata uang dengan negara mitra dagang strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
- Menyiapkan kebijakan fiskal kontra-siklus: Diperlukan desain kebijakan fiskal yang mampu merespons pelemahan ekonomi global tanpa mengorbankan kesehatan fiskal nasional.
- Memperbaiki regulasi dan infrastruktur keuangan: Pasar modal dan sektor keuangan harus dibenahi agar lebih inklusif dan menarik bagi investor global.
- Membangun sistem komunikasi publik yang kredibel: Pemerintah perlu menghadirkan kanal informasi yang akurat dan terpercaya agar pelaku usaha tidak terjebak oleh spekulasi dan disinformasi.
Gelombang Proteksionisme: Dunia Kembali di Bawah Awan Kelabu
Lebih jauh, Said menyampaikan kekhawatiran mendalam atas arah ekonomi global yang kembali dibayangi oleh proteksionisme, terutama setelah Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada November 2024.
“Dunia sekali lagi dihadapkan pada awan kelabu. Distorsi mulai muncul akibat kebijakan tarif agresif dari berbagai negara, dipicu memanasnya kembali tensi dagang AS dan Tiongkok,” ujar Said.
Ia menyebut kondisi ini sebagai babak kedua dari perang dagang besar yang pertama kali meletus pada 2018. Padahal, ekonomi global baru mulai pulih dari dampak pandemi Covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina.
Trump diketahui kembali menggunakan tarif impor sebagai alat kebijakan utama, menyerang tidak hanya Tiongkok, tetapi juga Kanada dan Meksiko. Hal ini telah menimbulkan efek domino, dengan negara-negara lain mulai mengadopsi kebijakan serupa.
“Pandangan proteksionis ini menandai pergeseran tajam Amerika dari pengusung perdagangan bebas menjadi negara yang mengedepankan tarif tinggi demi kepentingan domestik,” lanjut Said.
Sebagai catatan sejarah, ia juga mengingatkan bahwa Amerika pernah menerapkan kebijakan serupa pada era Presiden William McKinley lewat McKinley Tariff tahun 1890, yang diyakini sebagai pemicu krisis panjang antara tahun 1873-1896.
Kini, Indonesia pun terkena imbasnya. Pemerintahan Trump dikabarkan telah menetapkan tarif sebesar 32 persen terhadap sejumlah produk ekspor asal Indonesia ke pasar Amerika Serikat. (RH)
