Gempa Dahsyat Myanmar: Korban Jiwa Melonjak, Pakar Ungkap Penyebab dan Dampaknya

INTERNASIONAL

**GLOBAL/ MYANMAR – Gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,7 mengguncang Myanmar pada Jumat (28/3), dengan pusat gempa berada di wilayah Sagaing dekat Kota Mandalay. Guncangan dahsyat ini menyebabkan kerusakan parah serta menelan banyak korban jiwa di Myanmar dan negara tetangga, termasuk Thailand.

Joanna Faure Walker, pakar gempa dari University College London (UCL), menjelaskan bahwa Myanmar berada di zona pertemuan dua lempeng tektonik utama. Hal ini menjadikan negara tersebut salah satu wilayah dengan aktivitas seismik paling aktif di dunia, meskipun gempa besar jarang terjadi di Sagaing.

“Batas lempeng antara Lempeng India dan Lempeng Eurasia membentang dari utara ke selatan, membelah bagian tengah Myanmar. Lempeng-lempeng ini bergerak secara horizontal dengan kecepatan berbeda, yang memicu gempa jenis geseran lempeng,” jelas Walker, dikutip dari Reuters.

Meskipun gempa geseran lempeng biasanya tidak sekuat gempa di zona subduksi seperti di Sumatera, kekuatannya tetap bisa mencapai magnitudo 7 hingga 8. Sejarah mencatat, wilayah Sagaing pernah diguncang gempa berkekuatan 6,8 pada tahun 2012 yang menewaskan sedikitnya 26 orang dan melukai puluhan lainnya. Namun, menurut Bill McGuire, pakar gempa lainnya dari UCL, gempa kali ini kemungkinan merupakan yang terbesar di Myanmar dalam tiga perempat abad terakhir.

Kedalaman Dangkal, Kerusakan Makin Parah

Roger Musson, peneliti kehormatan di Survei Geologi Inggris, menyoroti bahwa gempa terjadi pada kedalaman hanya 10 km di bawah permukaan tanah. “Gempa dengan kedalaman dangkal sangat merusak karena gelombang kejut tidak meredam sebelum mencapai permukaan. Ini menyebabkan bangunan menerima dampak penuh dari guncangan,” jelas Musson.

Ia juga menambahkan bahwa fokus seharusnya tidak hanya pada episentrum, karena gelombang seismik menyebar dari seluruh garis patahan.

Dampak Ekonomi dan Korban Jiwa

Menurut Program Bahaya Gempa Bumi USGS, jumlah korban jiwa akibat gempa ini diperkirakan bisa melebihi 10.000 orang. Selain itu, dampak ekonomi dari bencana ini berpotensi mencapai 70 persen dari PDB Myanmar. Infrastruktur yang tidak dirancang untuk menahan gempa besar memperparah tingkat kerusakan, terutama di wilayah padat penduduk seperti Mandalay.

Musson juga mengungkapkan bahwa gempa besar terakhir di wilayah ini terjadi pada tahun 1956. Mengingat jarangnya gempa besar di Sagaing, banyak bangunan di daerah tersebut tidak didesain untuk menahan guncangan sekuat ini, sehingga meningkatkan risiko kerusakan besar dan korban jiwa.

Dengan dampak luas yang ditimbulkan, bencana ini menjadi pengingat betapa pentingnya kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi di kawasan rawan seismik seperti Myanmar. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *