GLOBAL/ MANILA – Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, menghadapi kenyataan pahit menjelang ulang tahunnya yang ke-80. Begitu tiba di Manila dari perjalanan luar negeri, ia langsung ditangkap oleh otoritas Filipina. Sosok yang pernah memimpin dengan tangan besi ini kini berhadapan dengan ancaman hukum internasional yang telah lama mengintainya. Penangkapan ini dilakukan atas dasar surat perintah dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang menuduhnya terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan selama perang narkoba yang ia gencarkan saat berkuasa.

Dari Kampanye Anti-Narkoba hingga Status Buronan
Duterte memimpin Filipina sejak 2016 dengan janji keras untuk memberantas narkoba hingga ke akar-akarnya. Kebijakan tersebut mengakibatkan ribuan korban jiwa dalam operasi yang kontroversial. Data resmi mencatat lebih dari 6.200 kematian, tetapi organisasi hak asasi manusia memperkirakan jumlah sebenarnya bisa mencapai 30.000 korban, termasuk warga sipil yang tidak bersalah.
Sebagai pemimpin yang kerap melontarkan pernyataan kontroversial, Duterte menarik Filipina dari keanggotaan ICC pada 2019 dalam upaya menghindari penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM. Namun, langkah tersebut tidak menghentikan ICC untuk melanjutkan penyelidikan terhadap kasus-kasus yang terjadi sebelum penarikan keanggotaan.
Ketegangan Politik dan Runtuhnya Aliansi Duterte-Marcos
Penangkapan Duterte terjadi di tengah meningkatnya tensi politik di Filipina. Awalnya, keluarga Duterte dan Marcos membentuk aliansi dalam pemilu 2022, yang mengantarkan Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. ke kursi kepresidenan dan Sara Duterte, putri Duterte, sebagai wakil presiden. Namun, hubungan keduanya mulai memburuk ketika Marcos Jr. mengambil kebijakan yang berlawanan dengan pendahulunya, termasuk dalam hubungan dengan Amerika Serikat dan China.
Ketegangan semakin memuncak ketika beredar rumor bahwa Sara Duterte menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi Presiden Marcos jika terjadi sesuatu padanya. Akibatnya, loyalis Marcos di Kongres mulai menggulirkan wacana pemakzulan terhadap Sara Duterte, yang dapat menghambat ambisinya untuk maju sebagai calon presiden pada 2028.
Dunia Bereaksi: Antara Keadilan dan Kontroversi
Penangkapan Duterte memicu reaksi beragam baik di dalam maupun luar negeri. Sara Duterte mengecam langkah ini sebagai bentuk tunduknya pemerintah terhadap kekuatan asing, yang dianggap merusak kedaulatan Filipina. Di sisi lain, kelompok hak asasi manusia menyambut baik tindakan ini sebagai langkah menuju keadilan bagi para korban perang narkoba.
Carlos Conde dari Human Rights Watch menyebut penangkapan Duterte sebagai “kejutan menyenangkan” bagi keluarga korban yang telah kehilangan harapan akan tegaknya keadilan di dalam negeri. Sementara itu, jurnalis peraih Nobel, Maria Ressa, menyebutnya sebagai momen bersejarah yang menandai berakhirnya budaya impunitas di Filipina.
Namun, perjalanan Duterte menuju meja hijau di Den Haag masih panjang. Proses hukum di ICC bisa memakan waktu bertahun-tahun, sementara situasi politik di Filipina semakin memanas menjelang pemilu paruh waktu Mei mendatang. Apakah ini benar-benar akhir dari era Duterte, atau justru awal dari babak baru dalam dinamika politik Filipina? Waktu yang akan menjawabnya. (RH)
